Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog

Minggu lalu, saya membaca status seorang akademisi dalam akun facebook-nya. Status tersebut menyinggung dinamika umat beragama yang dikaitkan dengan perilaku kekerasan dan terorisme. Dia mengatakan di statusnya, bahwa di Cina umat muslim dibantai oleh komunis, di Myanmar umat muslim dibantai oleh umat Budha, di India umat muslim dibantai oleh umat Hindu, tapi tetap muslim yang dianggap teroris. Saya paham bahwa maksud dari status tersebut adalah mengajak para pembaca status untuk berpikir objektif bahwa teroris itu bukan hanya pemeluk agama Islam, tetapi juga pemeluk agama lain. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang dapat dicermati dan penting untuk dipahami terkait status tersebut.

Soal pertama adalah soal objektifitas. Sebenarnya, tidak sulit menemukan literatur (buku, jurnal, dan berbagai macam tulisan) bahwa terorisme tidak terkait dengan agama. Ini artinya, perilaku kekerasan atau terorisme dapat dilakukan oleh siapapun dari berbagai agama, bangsa, negara, bahkan masyarakat nonagama. Kita tidak akan sulit menemukan catatan sejarah yang rapi di berbagai literatur bahwa setiap agama, baik agama langit maupun agama bumi, pernah melakukan perilaku terorisme terhadap kalangan lain. Bahkan, perilaku terorisme dapat dilakukan oleh pemerintah jika pemerintah melakukan tindak kekerasan kepada masyarakatnya. Meski media masih banyak yang belum berimbang, setidaknya sudah banyak literatur yang mencoba memahamkan dan berupaya untuk membahas terorisme secara proporsional. Pertanyaannya, kita mau memfokuskan atensi pada yang mana? Jika kita hanya berfokus pada pemberitaan media, kita sama halnya menafikan berbagai data sejarah yang merangkum tindak terorisme oknum di setiap agama.

Soal kedua, jaringan teroris. Mengapa terorisme selalu dikaitkan dengan Islam? Jika kita mencermati seluruh perilaku kekerasan yang dilakukan oleh oknum beragama, maka kita peroleh bahwa perilaku tersebut dapat dianggap terorisme, misalkan menggunakan kekerasan, mengintimidasi kalangan lain dan menyebabkan hilangnya nyawa, berkaitan dengan situasi politik dan bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan politik, mengakibatkan kerusakan fasilitas publik, serta memunculkan ketakutan publik. Akan tetapi, mengapa Islam yang selalu dilabel sebagai teroris? Alasannya adalah para teroris yang mengatasnamakan Islam memiliki satu hal yang tidak dimiliki oleh pelaku kekerasan di kalangan atau agama lain. Satu hal tersebut adalah jaringan. Sampai saat ini, hanya teroris Islam yang memiliki jaringan global dan dampaknya pun global. Maka, tak heran jika fokus dunia menuju ke arah Islam. Ada dua kelompok besar yang memegang kendali dinamika terorisme dalam agama Islam, Al Qaeda dan ISIS. Belum lagi jika berbicara jaringan mereka di seluruh dunia, maka akan didapati puluhan atau bahkan ratusan organisasi yang berafiliasi dan berbaiat kepada dua organisasi tersebut. Meskipun demikian, sikap fokus yang berlebih terhadap satu kalangan juga berpotensi mengeliminasi fokus kita pada kalangan lain yang bisa jadi melakukan sikap kekerasan yang sama.

Soal ketiga, perasaan terzalimi. Saya menganggap bahwa status seorang akademisi tersebut kurang bijak karena rentan memunculkan perasaan terzalimi pada umat Islam. Hal ini disebabkan kalimat terakhir akademisi tersebut yang mempertanyakan mengapa selalu Islam yang dicap teroris. Memang, kalimat tersebut tidak secara eksplisit menggiring orang untuk merasa terzalimi, tetapi orang dapat menafsirkan ke arah tersebut. Terlebih lagi, akademisi tersebut sudah menuliskan bahwa di Cina, India, dan Myanmar, umat Islam dibantai. Hal yang harus diperhatikan bahwa kita boleh membela agama kita dan mengajak orang untuk berpikir proporsional dan objektif. Namun, bukan dengan cara yang memunculkan perasaan terzalimi. Jika kita mempelajari dinamika kejiwaan atau jalur psikologis para terorisme, ternyata faktor yang dominan bukan faktor ideologis. Pintu masuk para perekrut terorisme justru menggunakan faktor perasaan terzalimi, baik secara individual maupun kolektif. Misalkan, seseorang yang merasa tidak berharga di keluarga, seseorang yang merasa gagal menjadi anak yang baik bagi orang tuanya, seseorang yang menganggap dirinya gagal menjalankan peran suami, seseorang yang merasa kasihan dan ingin membalas kaum lain yang menindas kaum yang seagama dengannya. Orang-orang dengan karakteristik semacam ini sangat rentan untuk dipengaruhi menjadi terorisme. Para ilmuwan menyebutnya sebagai faktor significance loss, yaitu kehilangan sesuatu dalam diri yang signifikan. Seseorang yang merasa terzalimi atau tidak berharga tersebut akan ditawarkan jalan pintas untuk menebus keterzaliman dan perasaan tidakberharga tersebut, yaitu dengan “berjihad”. Bahkan, salah satu teknik memunculkan kesadaran “berjihad” pada diri calon terorisme adalah terlebih dahulu diperlihatkan ketertindasan kaum muslimin di berbagai daerah.

Berdasarkan hal tersebut, hendaknya berhati-hati untuk mengajak orang lain berpikir objektif. Jangan sampai kita menggiring masyarakat beragama untuk merasa terzalimi. Hal ini disebabkan di satu sisi berniat mengajak masyarakat untuk meningkatkan objektifitasnya, namun di sisi lain berpotensi menciptakan masalah baru, yaitu kerentanan dalam diri seseorang untuk menjadi teroris dan membalas dendam ketertindasan tersebut. Kita sebaiknya menggunakan cara yang lebih bijak dan elegan untuk mengedukasi masyarakat agar dapat berpikir objektif dalam memahami perilaku kekerasan dan terorisme atas nama agama. Selain itu, yang lebih penting adalah kita hendaknya menggunakan cara yang berfokus pada solusi, bukan cara yang membangkitkan emosi dan perasaan terzalimi.

Tulisan ini pernah dimuat di islami.co (https://islami.co/hati-hati-memunculkan-perasaan-terzalimi-apalagi-muslim/ )

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *