Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog
Menteri Agama Fachrul Razi mengemukakan wacana pemulangan warga negara Indonesia (WNI) eks kombatan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau ISIS ke Indonesia. Eks kombatan ISIS di luar negeri berjumlah lebih dari 600 orang.
Wacana ini menjadi kontroversi dan menuai kritik. Fachrul Razi menyatakan itu masih sebatas wacana. Pemerintah harus mengkaji secara cermat dan komprehensif wacana ini. Kritik muncul karena memulangkan eks kombatan ISIS ke Indonesia sama halnya memasukkan bibit radikalisme ekstrem dan terorisme ke Indonesia.
Kajian pemulangan eks kombatan ISIS tersebut bukan hanya dilakukan dengan sudut pandang kemanusiaan dan hukum, namun juga harus menggunakan perspektif ilmu perilaku dan ilmu jiwa. Pemulangan eks kombatan ISIS bisa saja aman dilakukan dengan catatan seluruh WNI—sebagian dikabarkan telah membakar paspor dan tak mengakui Indonesia sebagai negara mereka–yang dipulangkan tersebut dijamin tidak menganut ideologi radikal ekstrem dan terorisme.
Pertanyaannya, mampukah pemerintah Indonesia mampu menjamin hal tersebut? Dalam kajian psikologi, untuk mengetahui kondisi kejiwaan dan proses mental individu maupun kelompok dapat dilakukan dengan tes psikologi atau menyusun alat ukur guna mengetahui kondisi variabel atau atribut psikologis yang ingin diukur dan diketahui.
Permasalahannya adalah seberapa mampu pemerintah Indonesia menyusun alat ukur tersebut untuk menjamin bahwa warga negara yang akan dipulangkan tidak lagi menganut ideologi radikal ekstrem dan terorisme?
Dalam kajian konstruksi alat ukur psikologi, syarat alat ukur psikologi yang baik adalah memiliki daya beda, validitas, dan reliabilitas yang tinggi. Daya beda merupakan kemampuan butir pernyataan dalam memilah individu dengan tingkat variabel tertentu.
Mengambil Keputusan Penting
Validitas merupakan seberapa tepat alat ukur bisa mengukur atribut atau variabel yang hendak diukur. Alat ukur yang memiliki validitas yang baik akan mampu mengungkap variabel atau atribut psikologis yang dikehendaki sesuai tujuan dan konteks pengukuran, bukan mengungkap hal lain.
Adapun reliabilitas merupakan tingkat konsistensi alat ukur dalam mencetak skor individu pada beberapa waktu yang berbeda. Dalam hal pemulangan warga negara Indonesia mantan ISIS, diperlukan alat ukur yang memiliki tiga kriteria tersebut.
Alat ukur yang digunakan untuk wacana tersebut bisa dikategorikan sebagai high-stakes test (tes yang bertujuan untuk mengambil keputusan yang penting). Ini artinya, tiga kriteria alat ukur yang baik tersebut harus berada di atas standar minimum.
Sesempurna apa pun alat ukur disusun, tidak mungkin mencapai kesempurnaan yang mutlak. Maksudnya, alat ukur tersebut masih tetap mengandung kemungkinan keliru meski sangat kecil. Selain itu, kemungkinan akan ada potensi social desirability pada diri eks kombatan ISIS yang menjadi sasaran tes, yaitu kecenderungan individu memilih jawaban yang sesuai dengan harapan sosial.
Ketika mereka mengetahui bahwa prosedur tes tersebut sebagai persyaratan untuk memulangkan mereka, maka mereka akan cenderung memilih jawaban yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia, misalkan menyatakan mendukung pemerintah Indonesia, menyatakan kecewa terhadap ISIS, dan menyatakan mengikuti Pancasila.
Hal tersebut sangat mungkin tidak sesuai dengan kondisi kejiwaan dan pikiran mereka. Bisa saja mereka lolos tes namun pada kemudian hari berperilaku yang berbeda dengan hasil tes, yaitu membangkang lagi terhadap Pancasila, UUD 1945, dan pemerintah Indonesia.
Faktor lingkungan berpengaruh terhadap munculnya lagi perilaku radikal ekstrem dan terorisme. Jika ada faktor yang muncul kembali, misalnya kecewa terhadap pemerintah Indoensia, merasa terasingkan, merasa tertindas, dan merasa tujuan akhir beragama belum dapat tercapai, bukan tidak mungkin para eks kombatan bersikap radikal ekstrem lagi dan memunculkan teror.
Sebagian kelompok umat Islam sedang memiliki semangat keagamaan yang tinggi tanpa diimbangi proses pembelajaran yang tepat. Berkaca pada beberapa peristiwa terakhir, setiap fenomena selalu dikaitkan dengan agama.
Punya Ilmu Perang
Kondisi-kondisi tersebut selalu didengungkan oleh sebagian orang di Indonesia sehingga faktor pemicu tersebut bisa dianggap ada dan berpotensi memengaruhi para eks kombatan ISIS pada kemudian hari.
Hal yang juga harus diwaspadai bahwa para eks kombatan dan simpatisan ISIS mempunyai ilmu tentang perang dan membuat persenjataan selama bergabung dengan ISIS. Ilmu ini bisa digunakan sewaktu-waktu jika faktor pemicu muncul kembali sehingga berpotensi menyebabkan terorisme di Indonesia.
Pemerintah Indonesia bisa membuat program deradikalisasi seperti yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Moh. Mahfud Md, tetapi persoalannya adalah seberapa besar tingkat keberhasilan program deradikalisasi yang disusun tersebut?
Para eks kombatan dan simpatisan ISIS pernah mengikuti ISIS secara sukarela dan ISIS tergolong kelompok yang sangat tertutup dan memiliki prinsip kuat yang dianut. Pemerintah akan kewalahan karena permasalahan radikalisme ekstrem di Indonesia masih menyisakan banyak tugas.
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak ditindaklanjuti dengan pembinaan eks pengikut sehingga kemungkinan juga bisa menjadi sel tidur yang bisa bangun kembali dengan wajah berbeda. Penanganan eks ISIS yang dipulangkan ke Indonesia sangat berpotensi tidak optimal.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Solopos (https://www.solopos.com/memulangkan-kombatan-isis-1046961)