Oleh: Ahmad Saifuddin

Tanggal 16 September 2020 malam, saya sedang rebahan untuk mengistirahatkan badan selepas beraktivitas seharian ketika saya membaca tulisan saudara Reza A. A Wattimena yang berjudul “Psikologi dan Psikiatri sebagai Pseudosains”. Tulisan tersebut menyuguhkan enam alasan dari saudara Reza terkait psikologi dan psikiatri sebagai pseudosains. Di satu sisi, saya mencoba memahami semangat dan idealitas saudara Reza bahwa ilmu seharusnya bersifat humanis, memperjuangkan hak manusia dan kemanusiaan, serta tidak mendekonstruksi manusia ke dalam bentuk-bentuk tertentu. Selain itu, saya juga membaca adanya kritik saudara Reza terkait praktik kapitalisme dalam bidang psikologi dan psikiatri. Pada beberapa poin tertentu, memang bisa dianggap benar dalam konteks tertentu. Di sisi lain, jika pandangan saudara Reza pada konteks tertentu kemudian mengalami overgeneralisasi sehingga menyimpulkan psikologi dan psikiatri adalah pseudosains, ini yang saya pikir perlu diluruskan. Mari kita bahas satu per satu.

“Pertama, psikologi dan psikiatri menjadikan manusia sebagai obyek. Manusia dilihat sebagai benda yang bisa dimanipulasi sesuai kebutuhan. Sejatinya, ini adalah pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Ini adalah dehumanisasi. Manusia dijadikan obyek eksperimen. Di titik ini, manusia dilihat sama seperti tikus dan monyet. Ini jelas pelanggaran berat terhadap konsep ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan ada untuk mengembangkan kehidupan, dan bukan untuk memanipulasinya” Jawaban: Tidak bisa dimungkiri bahwa beberapa penelitian dalam psikologi melibatkan hewan, sebut saja penelitian Ivan Pavlov yang melibatkan anjing serta penelitian Burhuss Frederick Skinner yang melibatkan merpati dan tikus. Hasil penelitian tersebut kemudian digunakan untuk merumuskan teori yang dianggap bisa diterapkan kepada manusia. Saya ambil contoh, terkait pengkondisian klasik yang dilakukan Ivan Pavlov terhadap anjingnya. Pavlov mencoba memasangkan stimulus alami berupa daging dengan stimulus buatan berupa bunyi bel/alat untuk menciptakan respons baru. Anjing jelas akan mengeluarkan alir liur jika diberikan daging. Namun, anjing tidak akan memunculkan respons tersebut ketika bel dibunyikan. Nah, Pavlov ingin mengetahui apakah respons air liur itu akan muncul jika bel dipasangkan dengan daging. Singkat cerita, selama beberapa waktu, Pavlov memberikan daging bersamaan dengan bunyi bel. Lalu, suatu ketika Pavlov hanya membunyikan bel tanpa memberikannya daging. Apa yang terjadi? Anjing mengeluarkan air liur. Ternyata pengaitan atau pengasosiasian daging dengan bel berhasil.

Lalu, apakah itu juga terjadi manusia? Suka atau tidak, ternyata kondisi itu juga banyak terjadi pada manusia. Contoh saya sendiri. Pada awalnya, saya tidak bermasalah dengan makanan cokelat. Namun, saya pernah mengalami tidak doyan cokelat karena suatu hari selepas makan cokelat, saya mengalami muntah-muntah akibat badan saya sedang sakit. Saya jadi mengaitkan cokelat dengan perilaku muntah saya sehingga memunculkan respons baru terhadap cokelat, yaitu menjadi tidak doyan. Pernah juga, ada kasus seorang anak fobia terhadap pasir karena ketika sedang bermain di pasir anak itu diserang dan digigit anjing ganas. Bahkan, sebenarnya penelitian Pavlov itu diujicobakan kepada manusia oleh John B. Watson. Watson mencoba mengaitkan antara tikus dengan bunyi-bunyian yang keras kepada seorang bayi yang sering dikenal dengan “Little Albert”. Awalnya, Albert tidak takut pada tikus. Namun, Watson membunyikan suara yang mengejutkan dan menakutkan ketika Albert diperlihatkan tikus. Apa yang terjadi? Selepas itu, Albert menjadi takut pada tikus meski tidak ada bunyi yang keras dan mengagetkan itu. Penelitian ini kemudian dikecam oleh dunia ilmu pengetahuan karena melibatkan kerugian pada manusia. Begitu juga prinsip penguatan (positif dan negatif) dan hukuman (positif dan negatif), juga terjadi pada manusia meski penelitiannya melibatkan hewan. Contoh, kita mengerjakan tugas karena kita menyukai tugas itu (penguatan positif) atau kita mengerjakan tugas karena dikejar-kejar oleh figur otoritas kita, entah dosen atau atasan (penguatan negatif).

Jadi, meski menurut saudara Reza penelitian yang melibatkan hewan dan kemudian diterapkan kepada manusia dianggap dehumanisasi, bagaimanapun juga tetap hasilnya valid karena penelitian tersebut melibatkan pengendalian berbagai variabel. Meskipun demikian, validitas penelitian tersebut juga tidak lantas menyebabkan hasil penelitian bisa diterapkan dan dianggap berlaku mutlak untuk manusia. Hal yang pasti, ada sisi kesamaan antara hewan dan manusia yang memungkinkan keduanya memiliki persamaan respons dan perilaku. Ada pula sisi perbedaan hewan dan manusia yang menyebabkan keduanya juga memiliki perbedaan dalam kondisi tertentu. Terkait manusia dijadikan objek eksperimen, juga tidak dapat dimungkiri. Akan tetapi, yang penting dipahami bahwa psikologi dan psikiatri memiliki etika. Setiap penelitian dalam psikologi wajib menggunakan informed consent yang berisi hak dan kewajiban peneliti, hak dan kewajiban sampel penelitian, dan etika yang harus dijunjung tinggi oleh peneliti agar meminimalisasi kerugian pada sampel penelitian. Selain itu, sampel penelitian pun harus menyatakan persetujuannya. Jika tidak setuju, maka peneliti harus mencari yang lain yang setuju. Kesepakatan dua pihak ini harus ada. Bahkan, ketika saya studi S2 Magister Psikologi Profesi, ujian profesi (sering disebut dengan ujian HIMPSI) dan ujian tesis tidak akan diluluskan jika kesepakatan ini tidak ada. Selain itu, hasil penelitian akan diberikan kepada sampel penelitian dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh sampel penelitian karena bagaimanapun juga penelitian harus memiliki asas kemanfaatan. Saya berkali-kali mengatakan kepada mahasiswa-mahasiswa dan kawan-kawan saya, jangan sampai penelitian hanya untuk kepentingan penelitian atau studi saja. Namun, validitas dan objektifitas penelitian harus terjamin agar hasilnya bisa bermanfaat bagi sampel penelitian dan yang lain. Selain itu, meski manusia berposisi sebagai objek penelitian, bukan lantas hak-haknya tidak terpenuhi. Kembali lagi ke kesepakatan atau informes consent, yang memuat penjaminan atas hak-hak sampel penelitian. Dalam penelitian eksperimen yang memuat dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kelompok kontrol pun tetap harus diberikan perlakuan yang sama dengan kelompok eksperimen meskipun berbeda waktunya. Jika kelompok eksperimen diberikan perlakuan/terapi ketika penelitian masih berlangsung, maka kelompok kontrol diberikan perlakuan/terapi setelah penelitian selesai. Begitu juga dalam penelitian yang melibatkan variabel yang sensitif dan rentan, jika manusia sebagai sampel penelitian mengalami respons yang abnormal, maka peneliti wajib untuk memberikan terapi/perlakuan untuk membuatnya normal kembali. Bahkan, daftar pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara pun harus ada persetujuan dari semacam komite etik agar meminimalisasi dampak negatif pada sampel penelitian. Ini artinya, hak-hak manusia masih sangat diperhatikan dan diupayakan untuk terjamin.

Kebetulan saya menggeluti dunia psikologi eksperimen. Eksperimen yang dilakukan oleh para tokoh besar yang sudah saya sebutkan tadi, merupakan eksperimen yang menciptakan teori atau konsep. Sedangkan, eksperimen yang dilakukan oleh peneliti lain, akademisi, dan mahasiswa yang di antaranya menggunakan manusia sebagai objek, bisa dianggap tarafnya di bawah penelitian eksperimen para tokoh besar. Jika penelitian eksperimen para tokoh besar ingin menciptakan teori, maka penelitian eksperimen peneliti lain, akademisi, dan mahasiswa lebih pada tujuan replikasi dan penyesuaian terapi-terapi atau perlakuan-perlakuan terhadap sampel penelitian dan konteks yang berbeda. Dalam kondisi yang terakhir, saya pernah melakukannya ketika penelitian tesis. Dan, meski yang saya lakukan (dan peneliti lain lakukan) menggunakan eksperimen, saya (dan peneliti lain) tetap harus mengutamakan evidence based. Ini artinya, dalam memberikan perlakuan terhadap sampel penelitian, harus didasarkan hasil penelitian terdahulu yang sudah terbukti berhasil dan valid atau akurat. Hal ini ibarat seperti dokter dalam memberikan obat, tidak boleh coba-coba dalam meramu obat. Dokter hanya boleh memberikan obat kepada pasien berupa obat yang sudah terbukti di penelitian. Ini mengindikasikan bahwa hak-hak manusia sebagai objek penelitian tetap diperhatikan dan dijunjung tinggi. Sehingga, meskipun manusia diposisikan sebagai objek penelitian, perlakuan terhadapnya tidak sewenang-wenang. Lagipula, dalam setiap penelitian dan praktik psikologi atau psikiatri harus menyertakan etika. Dalam psikologi di Indonesia, terdapat Kode Etik Psikologi Indonesia yang disusun oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

“Dua, manusia juga seringkali dijadikan obyek beragam tes yang tidak masuk akal. Tes dibuat dalam budaya dan waktu tertentu. Ia tidak bisa sembarangan diterapkan, apalagi untuk “mengukur” manusia. Ini adalah salah satu omong kosong terbesar yang pernah saya dengar.” Jawaban: Kebetulan saya menggemari dunia penyusunan alat ukur dan tes. Pada dasarnya, tes berangkat dari budaya positivistik-materialistik yang ingin setiap hal yang diteliti bisa diamati secara jelas dan bisa diukur secara pasti. Selain itu, alat ukur atau tes dibuat karena ada beberapa kasus atau fenomena yang ingin untuk diukur, misalkan kecerdasan. Terdapat prosedur yang panjang dan melelahkan dalam membuat alat ukur atau tes. Ini artinya, tes bukan hanya dibuat dalam beberapa hari, bisa berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun. Secara ringkas, akan saya coba tuliskan prosedur membuat alat ukur. Pertama, menemukan dan memahami fenomena secara cermat yang akan diukur atau dites. Kedua, memilih teori sebagai landasan pengukuran atau tes secara tepat. Ketiga, mempelajari teori yang digunakan secara mendalam dan menyeluruh. Keempat, membuat definisi operasional dari variabel yang akan diteliti/dites berdasarkan teori yang dipilih. Kelima, menentukan jenis alat ukur atau alat tes (kognitif, atau sikap, atau perilaku, atau kepribadian) berdasarkan jenis fenomena/variabel yang akan diukur atau dites. Keenam, membuat blueprint atau kisi-kisi alat ukur atau alat tes (bagian dari validitas tampang). Ketujuh, membuat item alat ukur atau alat tes. Kedelapan, memvalidasi item yang sudah dibuat kepada ahli (bagian dari validitas konten). Kesembilan, merevisi item yang kurang valid dan memvalidasi revisi item tersebut kepada ahli. Kesepuluh, mengujicobakan alat ukur kepada sekelompok orang (bukan subjek/sampel) yang memiliki kriteria yang setara dengan subjek/sampel pengukuran atau pengetesan. Kesebelas, menganalisis daya beda item dan reliabilitas alat ukur atau alat tes. Keduabelas, mengecek kembali keterwakilan aspek artinya, setiap aspek harus memiliki perwakilan item. Ketigabelas, perakitan alat ukur atau alat tes secara final dengan mengupayakan validitas tampang.

Poin penting dari prosedur pembuatan tes dan alat ukur tersebut adalah pada ujicoba. Ujicoba merupakan tahapan yang menentukan untuk mengetahui kualitas alat ukur. Jika kualitas alat ukur masih belum sesuai dengan batasan minimal berdasarkan hasil ujicoba, maka akan direvisi sampai hasilnya pun memenuhi kriteria alat ukur dan alat tes yang baik. Di sisi lain, sebagian besar ujicoba alat ukur dan alat tes pun tidak merugikan sampel ujicoba. Di sisi lain, alat ukur atau alat tes yang sudah memenuhi kriteria yang baik, justru memiliki beberapa manfaat. Pertama, diagnosis. Diagnosis adalah proses menentukan permasalahan atau kondisi seseorang pada saat ini. Diagnosis bisa dilakukan salah satu caranya adalah menggunakan alat ukur atau alat tes. Kedua, prognosis. Prognosis merupakan prediksi atas peluang kesembuhan. Misalkan, alat ukur atau alat tes bisa membantu psikolog atau psikiater dalam mengetahui seseorang mengalami gangguan kejiwaan berat sekaligus peluang kesembuhannya berdasarkan hasil alat tes tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang tersebut harus segera mendapatkan pertolongan dan pendampingan psikologis. Ketiga, penelitian. Alat ukur atau alat tes bermanfaat di bidang penelitian yang berhubungan dengan perilaku manusia untuk mengukur tingkat variabel dan intensitas perilaku manusia. Keempat, seleksi. Alat ukur atau alat tes bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi merupakan proses untuk memilih orang atau sekelompok orang dalam konteks tertentu dengan menggunakan standar tertentu. Dalam proses seleksi tersebut, dapat menggunakan alat ukur atau alat tes. Skor hasil tersebut kemudian diurutkan dan diklasifikasikan sehingga didapatkan orang-orang yang lulus seleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.

Kemudian, berbicara bahwa alat tes atau alat ukur diciptakan dalam konteks budaya dan waktu tertentu sehingga tidak bisa asal digunakan kepada siapapun, memang benar. Oleh karena itu, dalam tradisi tes dan pengukuran, terdapat revisi alat ukur atau alat tes dan juga berbagai macam proses untuk penyesuaian alat ukur terhadap objek ukurnya. Misalkan, modifikasi dan adaptasi alat ukur atau alat tes. Contoh, alat ukur intelegensi WAIS, sebelum digunakan di Indonesia, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut disesuaikan dengan pengetahuan dan konteks orang Indonesia, yang kemudian dinamakan dengan adaptasi. Begitu juga alat ukur atau alat tes lain, harus dilakukan modifikasi sebelum digunakan ke dalam konteks yang berbeda. Lalu, ada yang mempermasalahkan bahwa sangat mungkin aspek-aspek variabel yang dites antara alat tes dengan manusia di belahan negara yang lain berbeda. Kembali ke contoh, WAIS diciptakan oleh David Wechsler yang tentu saja menggunakan teori yang berlatarbelakang Eropa. Jika kemudian WAIS diterapkan pada masyarakat Indonesia dan ternyata masyarakat Indonesia memiliki aspek kecerdasan yang tidak termuat dalam alat tes tersebut, bukan salah WAIS-nya. Akan tetapi, lebih kepada setiap ilmuwan psikologi hendaknya menggiatkan penciptaan alat tes yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Di sisi lain, WAIS yang diterapkan di Indonesia pun juga sudah mengalami proses adaptasi dan modifikasi serta ujicoba yang jika dihitung dengan psikometri akan menghasilkan kesimpulan bahwa WAIS layak digunakan. Kondisi ini juga berlaku untuk alat tes yang lain.

Kasus lain terkait alat tes adalah tarif yang dianggap mahal untuk melakukan tes psikologi. Sebagian kalangan memang menganggap bahwa psikologi adalah agen kapitalisme. Namun, mahalnya tes psikologi juga bukan tanpa alasan. Hal ini disebabkan karena adanya hak paten penemu serta prosedur yang panjang dan melelahkan dalam membuatnya. Sehingga, alat tes sebagai hasil kerja keras tersebut kemudian diperjualbelikan. Pihak yang berhak membelinya pun terbatas, misalkan hanya pihak laboratorium atau biro psikologi. Sehingga, yang menjalankannya pun juga psikolog yang memiliki keterampilan. Maka, tidak heran jika layanan tes psikologi menjadi mahal. Di sisi lain, dalam tradisi psikolog dan psikiater, tetap ada ukuran harga, misalkan terdapat tarif ambang batas bawah dan tarif ambang batas atas. Ini artinya, tarif yang ditentukan juga tetap memperhatikan kemampuan masyarakat. Selain itu, banyak juga psikolog dan psikiater yang melakukan bakti sosial untuk (misalkan) mengetes secara gratis. Hal ini disebabkan dalam asosiasi juga terdapat kewajiban pengabdian kepada masyarakat.

“Tiga, psikologi dan psikiatri modern berpijak pada pengembangan konsep ego yang sehat. Terapi dan “tes omong kosong” dilakukan untuk membentuk ego, atau kepribadian, yang sehat. Ini jelas salah paham yang sangat berbahaya. Segala masalah mental manusia justru timbul, karena “ego”. Tidak ada “ego” yang sehat. Ego adalah sumber penderitaan. Ini bukanlah teori belaka, melainkan pola alam semesta yang sudah berulang kali terbukti. Dengan mengembangkan ego yang sehat, psikologi dan psikiatri justru memperparah penderitaan manusia.” Jawaban: Saya kurang paham apakah saudara Reza sudah mempelajari konsep ego dalam psikologi secara luas atau belum. Hal ini disebabkan konsep ego sangat bervariasi di dalam psikologi. Contoh, ego yang sering dipahami oleh banyak orang adalah soal sifat keakuan. Barangkali konsep semacam itu yang dimaksud saudara Reza. Mohon maaf jika saya salah memahami. Jika memang konsep ego yang dimaksud adalah sifat keakuan, maka benar bahwa ego semacam itu menjadi sumber masalah dan memperparah penderitaan manusia. Namun, dari sejumlah kalimat yang dituliskan tersebut, maksud ego sebenarnya adalah bukan sifat keakuan. Paradigma yang sangat eksplisit menyebut ego adalah paradigma psikodinamika-nya Sigmund Freud.

Freud menyatakan bahwa ego merupakan salah satu dari tiga struktur kepribadian manusia selain id (internal drive) dan superego. Id merupakan hasrat yang berorientasi kenikmatan. Sedangkan, superego merupakan nilai yang diyakini dan dianut oleh manusia. Maka, tugas ego adalah menyelaraskan keduanya. Pemenuhan id tanpa memperhatikan superego akan memunculkan perilaku abnormal. Sedangkan, memenangkan superego saja tanpa mempedulikan id akan rentan terjadinya konflik internal karena bagaimanapun juga hasrat harus terpenuhi dalam batasan dan proporsi tertentu. Oleh karena itu, tugas ego sangat berat. Jika id dan superego berfokus pada kondisi internal manusia, maka ego bersentuhan langsung dengan realitas. Ego bertugas mengatur dialog atau transaksi antara dunia internal manusia dengan realitas eksternal agar hasrat terpenuhi namun tidak melukai superego. Saya contohkan begini. Saya ingin makan. Maka, ini adalah kondisi ketika id berperan. Namun, saya tidak boleh makan makanan yang bukan milik saya. Ini adalah hasil dari peran superego. Jika saya hanya mementingkan id saya terpenuhi, maka bisa memunculkan perilaku mencuri makanan. Namun, jika saya mengutamakan superego saya, maka saya bisa mati kelaparan. Sehingga, tugas ego adalah mencari cara yang diizinkan oleh realitas tentang terpenuhinya id namun tidak merugikan superego. Sehingga, mendorong saya untuk mencari uang dan uang tersebut saya gunakan untuk membeli makanan. Itulah fungsi ego. Berdasarkan gambaran penjelasan ini, maka jelas ego memiliki fungsi untuk membantu manusia menuju kesehatan mental. Selain itu, Carl Gustav Jung dan Ken Wilber juga memiliki konsep tentang ego, meski porsinya tidak sebesar konsepnya Freud. Meskipun demikian, konsep ego keduanya juga mengarah pada fungsi yang positif pada kesehatan mental.

“Empat, psikologi dan psikiatri berpijak pada kerangka teori yang salah kaprah. Dua aliran besar muncul disini, yakni psikoanalisis dengan beragam cabangnya, dan behaviorisme juga dengan beragam cabangnya. Psikoanalisis melihat manusia sebagai mahluk yang didorong oleh hasrat-hasrat gelap tidak sadarnya. Behaviorisme ingin mengubah perilaku manusia, tanpa perubahan cara hidup yang lebih mendalam. Keduanya adalah sebentuk manipulasi pada manusia. Keduanya adalah dehumanisasi, sekaligus pelanggaran harkat dan martabat manusia. Banyak pemikir besar di bidang psikologi dan psikiatri sudah sadar akan hal ini. Mereka pun beralih ke tradisi meditatif Asia, seperti Yoga dan Meditasi, sebagai jalan keluar. Saya menaruh simpati besar pada psikologi humanistik. Pendekatan mereka sangat manusiawi, mirip dengan filsafat dan tradisi meditatif Asia. Sayangnya, pendekatan ini hampir tak dapat ditemukan di Indonesia. Kita justru mendapatkan jenis psikologi dan psikiatri yang dangkal dan merusak. Lagi pula, jika psikologi humanistik dekat dengan filsafat dan tradisi meditatif Asia, mengapa kita tidak langsung belajar ke sumbernya? Mengapa kita mendalami barang turunan kedua, atau KW? Tradisi meditatif Asia dan filsafat kritis bisa membebaskan orang dari penderitaan dan kebodohan. Ini sudah terbukti selama ribuan tahun.” Jawaban: Terkait teori psikoanalisis dan behaviorisme yang dianggap kerangka teori yang salah kaprah, terdapat beberapa hal yang perlu dipahami. Hal yang penting dipahami adalah psikoanalisis dan behaviorisme berangkat dari titik yang berbeda. Titik pemberangkatan berpikir ini yang menyebabkan para ilmuwan psikoanalisis dan behaviorisme membatasi diri pada prinsip yang telah mereka yakini dan tidak menggunakan prinsip lain yang menurut mereka bisa merusak hasil penelitian. Dalam batasan tertentu, sikap ini sangat wajar. Namun, jika teori ini dianggap salah kaprah, maka pernyataan tersebut perlu dikaji ulang. Akan tetapi, sikap yang proporsional adalah menganggap psikoanalisis dan behaviorisme memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini pun disadari betul oleh para ilmuwan psikologi yang sezaman dengan para tokoh besar psikoanalisis dan behaviorisme, misalkan Abraham Maslow yang kemudian menjadi tokoh sentral psikologi humanistik.

Pada kenyataannya, konsep kejiwaan psikoanalisis masih menjadi salah satu konsep utama yang paling mampu menjelaskan gangguan mental manusia karena sangat mendalam; konsep behaviorisme (khususnya terapinya) masih menjadi konsep utama dalam menangani gangguan mental yang akut. Bahkan, psikologi humanistik pun mengaku bahwa berbagai terapi dari humanistik kurang mampu menangani gangguan mental yang berat. Coba bayangkan, ada seseorang gangguan mental sampai katatonik, benar-benar diam, dan halusinasi. Apakah bisa menggunakan meditasi dan humanistik? Tentu sangat sulit jika tidak ingin dikatakan tidak bisa. Bagi saya, penggunaan teori dari berbagai paradigma psikologi tersebut tergantung konteks permasalahannya. Ini artinya, setiap paradigma dalam psikologi tidak bisa digunakan untuk menganalisis dan menangani permasalahan manusia secara bebas. Misalkan, paradigma psikoanalisis yang menitikberatkan pada trauma masa lalu maka tidak bisa diterapkan pada kasus gangguan perilaku yang disebabkan oleh proses belajar yang salah. Sebaliknya, paradigma behaviorisme yang memfokuskan pada kajian proses belajar tidak dapat diterapkan pada kasus gangguan yang disebabkan oleh pengaruh masa lalu dan permasalahan alam bawah sadar. Dengan demikian, penerapan teori memiliki porsi dan wilayahnya masing-masing. Semua pendekatan dan paradigma bisa digunakan, namun dalam konteks dan waktu yang berbeda. Contoh, individu yang mengalami skizofrenia. Jelas peluang kesembuhannya akan sangat tipis jika hanya mengandalkan pendekatan humanistik. Maka, agar peluang kesembuhannya cepat dan besar, ditangani terlebih dahulu dengan pendekatan medis, psikoanalisis, dan behaviorisme. Jika sudah menunjukkan proses pembaikan, maka untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan menurunkan peluang kekambuhannya, maka bisa menggunakan pendekatan kognitif, pendekatan humanistik, dan pendekatan spiritual.

“Lima, karena dirinya juga miskin sikap kritis, ilmu psikologi dan psikiatri kerap hanya menjadi alat penguasa untuk menindas. Psikologi, terutama psikologi organisasi, hanya menjadi kaki tangan orang kaya untuk menindas pekerjanya, yakni dengan menciptakan pekerja yang patuh dan rajin, namun bersedia dibayar murah. Psikiatri hanya menjadi alat penguasa untuk menindas orang-orang dengan gaya hidup dan cara berpikir berbeda. Mereka diterapi dan dipaksa untuk menjadi “normal”.” Jawaban: Bagian ini merupakan bagian yang cukup rumit menurut saya karena saudara Reza mencamapuradukkan antara praktik psikologi dan psikiatri dengan dunia industri. Memang, keduanya bisa berkaitan sehingga memunculkan salah satu cabang ilmu psikologi, yaitu psikologi industri dan organisasi. Akan tetapi, menganggap psikologi dan psikiatri sebagai alat untuk menindas dan menciptakan pekerja yang dibayar murah merupakan kesimpulan yang prematur. Memang benar jika psikologi menjadi bagian dari industri, misalkan pengetesan untuk keperluan seleksi, rekrutmen, penempatan kerja, promosi, dan mutasi. Namun, mengaitkan psikologi dengan pekerja yang dibayar dan penindasan itu mempersempit konteks masalah dalam dunia industri tersebut. Kita tahu bahwa dunia industri sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan pihak, sedangkan psikologi hanya bagian kecil di dalamnya. Peran psikologi adalah menghasilkan data berdasarkan tes psikologi yang digunakan untuk modalitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan terkait pekerja.

Setiap pihak psikologi dan psikiatri menjunjung tinggi etika profesi serta disumpah. Namun, jika ada oknum yang menyalahgunakan keterampilannya untuk menindas dan membayar murah pekerja, bukan berarti sikap oknum tersebut dapat digunakan untuk mengeralisasi keseluruhan. Sebagian dunia industri memberikan upah kepada pekerja sesuai batasan minimal. Psikologi juga memberikan layanan bagi mereka yang mengalami permasalahan dan meminimalkan tingkat stres kerja. Bahkan psikologi juga berperan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman. Saya pernah mengunjungi salah satu industri di Semarang didampingi oleh psikolog industri tersebut. Ketika psikolog industri tersebut mengajak saya melihat-lihat para pekerja bekerja, saya mendengarkan ada musik yang disetel. Musik tersebut digunakan untuk menjaga kondisi kejiwaan pekerja ketika bekerja sehingga ritme bekerjanya pun stabil. Jika kejiwaan dalam kondisi baik, maka dapat meminimalisasi terjadinya kesalahan dan kecelakaan kerja. Belum lagi jika ada kegiatan outbond untuk me-refresh dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kerja dan keterampilan perilaku pekerja. Selain itu, psikologi dalam industri juga berperan dalam meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi konflik. Jika ditanyakan apakah peran tersebut sudah berjalan sepenuhnya, maka jawabannya pun tergantung industri masing-masing. Sebagian sudah berjalan secara profesional, namun sebagiannya lagi belum. Nah, jika ada kekurangan, maka bukan berarti psikologi dan psikiatrinya yang salah, namun lebih pada faktor-faktor lain yang mempengaruhi belum optimalnya peran psikologi dan psikiatri tersebut.

“Enam, psikologi dan psikiatri juga kerap kali menciptakan ketergantungan. Orang-orang yang sedang rapuh dimanfaatkan untuk dikeruk uangnya. Terapi omong kosong seolah menjadi kebutuhan. Padahal, kerap kali, terapi tersebut yang menjadi sumber masalah yang sebenarnya. Psikiatri malah lebih berbahaya. Orang diberikan obat yang tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, orang justru menjadi ketergantungan obat. Uang terus keluar, namun kesembuhan tak kunjung datang. Penyakit baru dalam bentuk ketergantungan justru berkunjung.” Jawaban: Membaca pernyataan tersebut, saya jadi teringat pesan para dosen saya, “Jangan senang jika ada klien yang sudah selesai terapi namun masih ingin diterapi oleh Anda. Itu artinya klien Anda tergantung pada Anda. Dan jika klien tergantung pada Anda, maka Anda gagal dalam memberikan terapi tersebut.” Tujuan dasar dari setiap terapi adalah meningkatkan kesadaran individu terhadap adanya masalah, memperbaiki proses berpikir dan belajar individu terhadap masalah, serta meningkatkan keterampilan individu untuk menghadapi masalah sehingga individu memiliki kemandirian di masa mendatang. Sebelum proses terapi pun, ada kesepakatan antara terapi dan klien. Banyak poin penting dalam kesepakatan tersebut, misalkan jumlah sesi dan pertemuan, hari dan jam pertemuan, durasi pertemuan, tujuan terapi, termasuk pada harga atau tarif setiap sesi atau pertemuan. Ini artinya, harga atau tarif yang dibayarkan klien termasuk pada kesepakatan, bukan pemaksaan. Sehingga, tidak tepat jika proses terapi dianggap mengeruk uang. Di sisi lain, para psikolog dan psikiatri juga banyak melakukan kerja sosial. Contoh kecil saja, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) membuka layanan konseling dan terapi gratis kepada siapapun yang terdampak pandemi Covid-19.

Terkait penggunaan obat, penting dipahami bahwa sebagian gangguan atau abnormalitas kejiwaan melibatkan kerusakan saraf dan pengaruh hormonal. Satu-satunya cara untuk menangani saraf dan hormonal tersebut adalah dengan obat. Lagipula, tidak setiap gangguan kejiwaan diberikan obat. Hanya gangguan kejiwaan tertentu saja yang melibatkan kerusakan saraf dan pengaruh hormal yang diberikan obat. Banyak kasus terjadi ketika individu berhenti mengonsumsi obat, justru gejalanya muncul lagi dan kambuh lagi. Di sisi lain, sangat mungkin dosis obat dikurangi ketika individu terkait menunjukkan perkembangan positif. Selain itu, penggunaan obat tersebut juga sudah berdasarkan penelitian terdahulu yang terbukti hasilnya dapat dipercaya.

Terkait kesembuhan, pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi kesembuhan. Sehingga, psikolog dan psikiater bukan faktor tunggal dalam hal ini. Saya mengikuti salah satu komunitas yang bergerak di bidang gangguan kejiwaan. Banyak anggota yang tergabung dan memiliki gangguan atau abnormalitas. Beberapa di antara mereka suka mengeluh namun komitmennya untuk sembuh rendah. Hal ini nampak ketika diberikan saran untuk rutin ke psikolog dan psikiater serta minum obat, namun mereka tidak bersedia. Nah, dari sini bisa disimpulkan bahwa ternyata tidak ke psikolog dan psikiater pun juga tidak menjamin kesembuhan. Di sisi lain, sebagian yang lain sering menceritakan perjuangannya untuk menjadi lebih sehat, misalkan dengan rutin menjalankan terapi psikologi, rajin minum obat, dan ditambah dengan meningkatkan keterampilan diri. Jadi, soal sembuh atau tidak sembuh, sebenarnya peran semua pihak untuk berkontribusi. Individu yang tetap “memilih pada gangguannya”, maka tentu akan sulit diberikan terapi psikologi sehingga sulit sembuh. Atau, individu yang kurang sabar dalam menjalani proses, juga akan sulit mencapai kesembuhan. Ada lagi, proses terapi psikologi sudah berlangsung optimal, individu sudah mencapai kesembuhan. Namun, masyarakat masih memberikan stigma negatif terhadap individu tersebut dengan label-label negatif, misalkan “orang gila”, “mantan orang gila’, dan sikap sejenisnya. Maka, kondisi ini bisa menyebabkan kekambuhan. Ini bukan soal menyalahkan individu yang mengalami gangguan, namun lebih pada keinginan untuk menunjukkan bahwa keberhasilan proses terapi, baik terapi psikologi maupun terapi medis, ditentukan bukan hanya oleh psikolog dan psikiater, namun juga pada individu, keluarga, dan masyarakat.

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *