Disarikan oleh Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil. (dosen Tasawuf dan Psikoterapi UIN Raden Mas Said Surakarta)

Ia adalah seorang sufi yang mempunyai nama lengkap Muḥammad ibn ‘Alī ibn ‘Aṭiyyah Abū Ṭālib al-Makkī al-Ḥāriṡ al-Mālikī. Mengenai tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Dalam sejarah kaum sufi, ia hanya diketahui tempat kelahirannya, yaitu di Jabal, suatu daerah antara kota Baghdad dan Wasiṭ. Beliau wafat pada 386 H di Baghdad. Dalam salah satu sumber disebutkan, nama al-Makkī merupakan gelar yang menunjukkan bahwa ia adalah sufi yang berasal dari Makkah. Sedangkan nama al-Ḥāriṡ adalah menunjukkan nasabnya, yakni dari keturunan suku al-Ḥāriṡ, salah satu kabilah di tanah Arab. Karena pemikirannya lebih cenderung bermażhab Mālikī, maka nama akhirnya diberi gelar al-Mālikī.
Kehidupan dan pendidikan yang dijalani Abū Ṭālib al-Makkī tidaklah banyak dijelaskan oleh para pengkaji tokoh-tokoh sufi; tetapi, disebutkan dalam literatur-literatur tasawuf, ia dikenal sebagai tokoh sufi yang tekun dan rajin dalam mengkaji ilmu-ilmu keagamaan, sehingga ia cukup menguasai ilmu-ilmu agama tersebut. Di antara ilmu-ilmu keagamaan yang ia kuasai adalah ilmu hadis, ilmu fiqh, dan tidak ketinggalan juga ilmu yang dikuasai dan banyak diamalkannya adalah tasawuf.
Kepada para ulama dan juga tokoh-tokoh sufi yang sangat terkemuka di zamannya, ia telah mempelajari dan memperdalam ilmu-ilmu tersebut. Tokoh-tokoh sufi yang tercatat sebagai guru-guru Abū Ṭālib al-Makkī, antara lain adalah Syaikh ‘Alī ibn Aḥmad ibn al-Maṣrī, Abū Bakr Muḥammad ibn Aḥmad al-Jarajarinī al-Mufīd. Khusus pelajaran tasawuf yang ia kuasai, digali secara intensif dan seorang guru sufi termasyhur, Abu al-Ḥasan Aḥmad ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn Sālim al-Saghīr. Dalam rangka belajar dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan, Abū Ṭālib al-Makkī mengunjungi daerah-daerah penting di kawasan Timur Tengah. Di antaranya, dalam sejarah pengembaraannya, ia telah mengunjungi Basrah, Irak, dan yang terakhir ia menetap di Baghdad.
Ajaran tasawuf yang ia pelajari dan ia kembangkan secara intensif adalah tasawuf Salafiyyah. Khusus dalam tasawuf yang bercorak Salafiyah ini, ia belajar kepada Abū al-Ḥasan, di wilayah Irak. Tasawuf Salafiyah, ketika itu, telah banyak beredar dan tercatat banyak pengikutnya, dan bahkan sudah sangat populer di masyarakat Basrah. Tasawuf Salafiyyah ini bersumber dari seorang tokoh sufi termasyhur, yaitu Sahl ibn ‘Abd Allāh al-Tustarī (w. 282 H/ 896 M). Dalam pengembaraannya yang terakhir, Abū Ṭālib al-Makkī pindah dari Basrah menuju Baghdad. Khusus di Baghdad inilah ia menetap agak lama. Ia menetap di kota ini, ketika sudah mapan dan mampu mengembangkan ilmu tasawuf yang telah diperolehnya sekian lama.
Namun, dalam mengembangkan ajaran-ajaran tasawufnya di wilayah Baghdad itu, Abū Ṭālib al-Makkī banyak mengalami kesulitan, sebab antara penduduk Basrah dan penduduk Baghdad telah terjadi perbedaan paham. Ketika itu, penduduk Bashrah kehidupan tasawufnya banyak menganut paham Aliran Salīmiyyah. sedangkan penduduk Baghdad kehidupan tasawufnya banyak menganut dan mengembangkan aliran Junaidiyyah. Oleh sebab itu, Abū Ṭālib al-Makkī telah dilarang untuk mengembangkan tasawufnya di Baghdad karena perbedaan paham ini.
Abū Ṭālib al-Makkī mempunyai dasar-dasar pemikiran yang dikembangkan dan banyak dilanjutkan oleh murid-muridnya. Dasar-dasar pemikiran tasawufnya, antara lain:
Pertama, apabila telah memiliki dasar-dasar keilmuan dan keagamaan yang kuat, maka ajaran tasawuf dapat ditegakkan. Untuk mencapai dasar-dasar tersebut dibutuhkan tujuh syarat yang harus dilengkapi, antara lain:
1) Perlu adanya kehendak (niat) yang benar dan tetap konsekuen dengan kehendak tersebut;
2) Menolak keburukan dan segala maksiat guna membina kehidupan taqwa kepada Tuhan;
3) Terutama dapat mengetahui kelemahan diri sendiri dengan memiliki pengetahuan tentang keadaan diri;
4) Selalu mengenal dan mengingat Allah;
5) Memperbanyak taubat naṣūḥā;
6) Dapat mengetahui hukum makanan sebagaimana yang telah diatur syara’ dan senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal; dan
7) Mampu menegakkan kehidupan taqwa yang sejati dan selalu bergaul dengan orang-orang yang saleh.
Kedua, untuk memperkuat kehidupan sebagai tokoh sufi, maka ada empat penyangga yang dibutuhkan, yaitu:
1) Dengan keadaan lapar, dan memutus jalan setan melalui darah yang bersarang di dalam hati. Oleh sebab itu, seseorang harus membiasakan diri dalam keadaan lapar. Untuk menjadikan hati putih bersih dan memancarkan sinar Ilahi yang dapat mengarahkan kepada pintu kebaikan adalah dengan cara yang bersih dari godaan-godaan setan;
2) Dengan salat malam, sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah. Untuk itulah seseorang harus banyak melakukan salat malam;
3) Dengan diam dan tidak banyak berbicara, merupakan jalan menuju keselamatan dan kewaspadaan. Oleh sebab itu, seorang yang memasuki amalan sufi haruslah tidak banyak berbicara. Kalaupun harus bicara, maka pembicaraan itu yang penting-penting saja; dan
4) Dalam melaksanakan zikir, harus mengkonsentrasikan lahir dan batin serta pelaksanakan dengan hati yang bersih. Karena itu, seseorang haruslah banyak menyendiri untuk melakukan zikir.

Abū Ṭālib al-Makkī tercatat telah meninggalkan karya, kendatipun hasil karya tersebut tidak banyak. Ada beberapa hasil karya Abū Ṭālib al-Makkī yang dituangkan dalam bentuk kitab, yang pada masa-masa selanjutnya kitab-kitab ini dijadikan oleh murid-muridnya maupun beberapa ulama selanjutnya sebagai dasar acuan ajaran-ajaran tasawuf mereka. Kitab-kitab Abū Ṭālib al-Makkī yang dimaksud, antara lain: ‘Ilm al-Qulūb dan Qūt al-Qulūb fī Mu’āmalat al-Maḥbūb adalah dua di antara kitab-kitab Abū Ṭālib al-Makkī yang paling popular. Kitab-kitab ini memiliki pengaruh yang cukup besar di dunia Islam, dan masih banyak ditemukan hingga sekarang. Para pengkaji tasawuf hingga zaman kontemporer pun sering mengutip karya-karya Abū Ṭālib al-Makki; bahkan, al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M), sering diklaim sebagai sufi yang paling banyak terpengaruh oleh pemikiran Abū Ṭālib al-Makkī, terutama dari Kitab Qūt al-Qulūb fī Mu’āmalat al-Maḥbūb, sebagaimana diakui sendiri oleh al-Ghazālī.
Begitu juga Syihāb al-Dīn Yaḥya al- Suhrāwardī (w. 587 H/1191 M) pernah mengutip pendapat Abū Ṭālib al-Makkī. Kutipan terhadap al-Makkī ini terlihat pada soal yang esensial dalam konsep al-Ḥikmah al-Isyrāqiyyah-nya, terutama ketika menggambarkan hakikat pengetahuan yang dibutuhkan sang sālik (pejalan ruhani) untuk mengenal Tuhan. Dengan mengutip Abū Ṭālib al-Makkī dan al-Ḥallāj (w. 309 H/922 M), al-Suhrāwardī mencatat, “semua sepakat bahwa sepanjang selubung (ḥijāb) belum tersingkap, penglihatan terhadap Sang Hakikat tidak akan tercapai. Selain itu, Ibn al-‘Arabī (W. 638 H/1240 M), dalam Fuṣus al-Ḥikam-nya, juga pernah mengutip pendapat Abū Ṭālib al-Makkī tentang masyī’ah (kehendak) Tuhan.
Kitab Qūt al-Qulūb fī Mu’āmalat al-Maḥbūb tersebut, menurut Hossein Nasr, berisi pemikiran akhlak sufi awal, yang disusul kemudian dengan Risālah al-Qusyairiyyah karya Abu al-Qasim al-Qusyairī (w. 465 H/1072 M) dan Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (menghidupkan ilmu-ilmu agama) karya al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M). Karya-karya tersebut terkenal sebagai kitab rujukan tentang akhlak. Seyyed Hossein Nasr menambahkan bahwa sejak awal, seluruh bidang akhlak dalam Islam didominasi kaum sufi, baik Sunni maupun Syi‘ah. Karya-karya akhlak yang ditulis selama berabad-abad kemudian, diilhami pemikiran akhlak kaum sufi. Melintasi pelbagai kelompok sektarian di dunia Islam, karya-karya itu benar-benar menjadi napas tasawuf yang membawa kehidupan kepada, dan memberi makan untuk, akhlak. Banyak orang tidak sadar bahwa karya-karya akhlak yang mereka baca sesungguhnya berasal dari sumber-sumber sufi, sekalipun, dari luar, karya-karya itu tidak ada hubungannya dengan tasawuf. Namun demikian, menurut Ahmad Mahdavi Damghani, meskipun Qūt al-Qulūb dianggap sebagai sebuah teks primer untuk ajaran-ajaran tasawuf klasik, karya ini memiliki kemanfaatan terbatas berkaitan dengan dimensi spekulatifnya, karena ia hanya memberikan deskripsi ringkas tentang sebagian keadaan (aḥwāl) sufi dan maqāmāt (tingkatan-tingkatan) tasawuf. Sementara itu ulama hadis, telah mengungkapkan keraguan tentang keakurasian hadis yang dikutip di dalamnya. Perlu dicatat juga bahwa Qūt al-Qulūb ini menampilkan banyak kutipan dari perkataan para sufi khurasān.
Sebuah penelitian detil atas rujukan-rujukan dan kutipan dalam Qūt al-Qulūb patut untuk disebutkan di sini. Abū Ṭālib al-Makkī adalah seorang murid Sahl ibn ‘Abd Allāh al-Tustarī (w. 282 H/896 M) dan secara terus-menerus mengalamatkan julukan-julukan kepada gurunya seperti “Guru Sahl kita yang baik” atau “Syaikh Abū Muḥammad yang baik”. Apapun julukan itu, kata Ahmad Mahdavi Damghani, Abū Ṭālib al-Makkī mengutip Sahl al-Tustarī sekitar 93 kali. Dia juga merujuk kepada Bisr al-Ḥāfī (w. 227 H/842 M) sebanyak 40 kali; pada Ibrāhīm sebanyak 15 kali; pada Yaḥyā ibn Mu’āż al-Rāzī (w. 258 H/ 871 M) sebanyak 14 kali; pada Ibrāhīm Khawwāṣ (w. 291 H/904 M) sebanyak 13 kali. pada Abū Yazīd al-Bisṭāmī (w. 261 /877) sebanyak 12 kali; dan kurang dari 10 kali tokoh-tokoh seperti Syaqīq al Balkhī (w. 194 H/ 810 M), Salmān al-Fārisī (w. 36 H/656 M), Ḥabīb ‘Ajamī (w. 156 H/772 M), Hatim al-‘Aṣam al-Balkhī (w. 237 H/852 M), Abū Ḥafṣ al-Ḥaddād dari Nisyapūr (w. 265 11/878 M), Abū Sahl Būsyanjī, Abū Turāb Nakhsyābī (w. 245 H/859 M), dan Muḥammad ibn Yūsuf Isfahānī, yang ia kutip kata-kata indah serta puisi esoterik mereka.

Sumber Bacaan:
Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm Hawāzin al-Qusyairī, al-Risālah al-Qusyairiyyah li ’llm al-Taṣawwuf, ditaḥqīq oleh Ma‘rūf Zāriq dan ‘Alī ‘Abd al-Ḥamīd. Dār al-Khair, t.t.
Abū Hāmid al-Ghazālī. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. 4 jilid, Dār al-lhyā’ wa al-Kutub al-‘Arabiyyah.
Abū Ṭālib al-Makkī. Qūt al-Qulūb fī Mu‘āmalat al-Maḥbūb. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Ibn ‘Arabī. fuṣuṣ al-Ḥikam wa al-Ta‘līqāt ‘alaih. Abū al-‘Alā ‘Afīfī. Beirut: Dar al-Fik, t.t.
Seyyed Hossein Nasr, el. al. (editor). The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from its Origin to Rumi (700-1300). England: Oneworld Publication, 1999.
John Renard, Mencari Tuhan, Mizan, 1995

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *