Penulis: Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.

Muḥammad ibn ‘Alī ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Abd Allāh, lebih dikenal dengan Ibn ‘Arabī,  penulis karya-karya taṣawuf, mutakallim, faqīh, mufassir, dan penyair.  Lahir di Murcia, Spanyol pada bulan ramaḍān 560/ 1165,  bermażhab Ẓāhirī dalam ibadah, bāṭiniyyah dalam akidah.  Ibn ‘Arabī belajar al-Qur’ān saat masih berusia tujuh tahun  kepada Abū Bakr Muḥammad ibn Khalaf ibn Ḥāf al-Lakhmī, ia juga berguru kepada Abū Bakr ibn al-Ḥusain, Muḥammad ibn Sa‘īd ibn Zarqūn, Jābir al-Khaḍramī, dan lainnya.  Dia memiliki murid yang setia dalam membawa dan menyebar pemikiran taṣawuf nya, di antaranya; Ṣadr al-Dīn al-Qunawī,  ‘Abd al-Ḥaqq ibn Sab‘īn,  ‘Afīf al-Tilmisānī,  dan Ismā‘īl al-Nūrī.  Ibn ‘Arabī wafat pada 28 rabī‘ al-ṣānī 638 di Damaskus. 

Ibn ‘Arabi adalah seorang figur Muslim berpengaruh dan kontroversial yang pernah ada selama sembilan ratus tahun terakhir. Tradisi Ṣūfī melihatnya sebagai “guru terbesar” (al-Syaikh al-Akbar), yang berarti dia adalah Ṣūfī terkemuka beserta ajaran-ajarannya. Ibn ‘Arabī menulis banyak karya; al-Futuḥāt al-Makkiyyah (Pembukaan Makkah) berisi paling banyak pembahasan taṣawuf  dibanding dengan mayoritas teks Ṣūfī hingga saat ini.  Ratusan manuskrip karya Ibn ‘Arabi tersebar di perpustakaan, baru sebagian yang diterbitkan.

Kehebatan Ibn ‘Arabī tidak bisa dilihat sebatas dari besar dan banyaknya tulisan saja, perlu penelitian dan analisa atas isi dari karya-karyanya. Mungkin tidak ada yang pernah membaca semua karya Ibn ‘Arabi, bisa jadi ada sebagian peneliti yang mengaku telah membaca tuntas Futuḥāt. Meski begitu, “membaca” adalah satu hal, “memahami” adalah hal yang lain.  Hampir semua pengkaji Ibn ‘Arabi menganggap bila Ibn ‘Arabī adalah salah satu figur Ṣūfī yang paling sulit untuk difahami tulisannya.  Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, paling tidak pengetahuan yang luar biasa, wacana tingkat tinggi yang konsisten, perspektif yang terus berubah, dan keragaman gaya yang dimiliki Ibn ‘Arabī membuat karyanya memiliki tingkat kesulitan tersendiri untuk dipahami.  Analisis dan penjelasan menyeluruh dari satu halaman Futuḥāt menuntut banyak halaman teks Arab, dan tugas menjadi jauh lebih menantang ketika harus memahaminya dari konteks bahasa non-Arab. 

Terdapat para tokoh menduga bila karya-karya Ibn ‘Arabi sulit karena ia menulis banyak pengulangan yang tidak perlu dari karya-karya sebelumnya. Faktanya, kita berhadapan dengan pendekatan kajian Islam yang orisinal, sehingga sulit menemukan pemikiran serupa yang mendahului Ibn ‘Arabi. Tentu saja, ada teks-teks Ṣūfī penting sebelum masa Ibn ‘Arabī yang juga mengungkapkan taṣawuf  dengan teori yang canggih, tetapi jika dibandingkan dengan al-Ghazālī pun, Ibn ‘Arabī merupakan figur Ṣūfī yang memiliki terobosan radikal dalam karyanya.

Al-Ghazālī berbicara tentang sebagian besar tradisi Ṣūfī awal ketika dia memberi tahu kita tentang mukāsyafah (penyingkapan)  -yaitu, pengetahuan tanpa perantara yang diberikan Tuhan kepada Ṣūfī istimewa- yang tidak bisa ditulis dan jelaskan dalam buku. Ibn ‘Arabī menolak rumusan ini dan menyebarkan pengalamannya dalam mukāsyafah agar bisa dilihat oleh semua orang. Orang mungkin akan mendapat kesan bahwa Ibn ‘Arabī pada dasarnya adalah seorang “mistikus” dengan membaca pengantar Stephen Hirtenstein tentang kehidupan Ibn ‘Arabī dalam The Unlimited Mercifier: The Spiritual Liffe and Thought of Ibn ‘Arabī.  Hirtenstein menerjemahkan sebagian besar otobiografi dari karya-karya Ibn ‘Arabī, dan banyak di antaranya berbicara tentang musyāhadah (penglihatan) dan mukāsyafah (penyingkapan). Kenyataannya, bagaimanapun, sebagian besar tulisannya masih diperdebatkan apakah dimasukkan ke dalam arus utama keilmuan Islam atau non-Islam.

Setelah kematiannya pada tahun 638/1240, ajaran Ibn ‘Arabi dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, dan mereka terus menyebar ke mana pun Islam pergi, dari Afrika dan Balkan ke Indonesia dan Cina.  Satu abad setelah wafatnya, ide dan pemikiran Ibn ‘Arabī telah banyak diminati oleh mayoritas Muslim pada masa Ibn Taimiyyah.  Dalam beberapa dekade terakhir, minat pada tulisan-tulisannya muncul kembali baik dalam dunia Islam maupun dunia akademis Barat, terutama di kalangan anak muda yang kecewa dengan berbagai bentuk ideologi modern. 

Karya  utama Ibn ‘Arabī adalah Futuḥāt,  kemudian yang paling terkenal dari buku-bukunya adalah; Fuṣūṣ al-Ḥikam  (Batu Cincin Kebijaksanaan). Selama berabad-abad, murid-murid Ibn ‘Arabī menjunjung tinggi buku ini dan menulis lebih dari seratus syarḥ (komentar) tentangnya. Sebagian besar isinya berlandaskan pada ayat-ayat al-Qur‘ān dan Ḥadīṡ. Selanjutnya ada al-Futuḥāt al-Makkiyyah  yang berisi pembahasan tentang metafisika, teologi, kosmologi, antropologi spiritual, psikologi, dan fiqh. Topik-topiknya mencakup makna bāṭin dalam ritual Islam, maqāmāt para musāfir dalam perjalanan menuju Tuhan dan di dalam Tuhan, sifat hierarki kosmis, makna spiritual dan ontologis dari huruf-huruf hijaiyyah, ilmu-ilmu yang dimiliki oleh masing-masing dari sembilan puluh sembilan nama Tuhan, dan makna pesan yang berbeda dari para Nabi.

Yang ketiga adalah Tarjumān al-Asywāq  (Penafsir Kerinduan), kumpulan puisi cinta pendek ini adalah karya pertama Ibn ‘Arabī yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,  diilhami oleh pertemuannya selama ziyārah pertamanya ke Makkah dengan Niẓām, putri cantik dan berbakat dari seorang ulama besar dari Isfahan. Dia juga menulis komentar panjang tentang puisi untuk membuktikan kepada salah satu kritikusnya bahwa mereka berhubungan dengan kebenaran spiritual dan bukan cinta profan.

Karya Ibn ‘Arabī tekenal dengan tingkat kesulitan tinggi penuh dengan ungkapan yang membingungkan.  Tulisannya mengandung banyak rumus, tasybīh, isyārāt, dan majāz. Berikut adalah beberapa pandangan taṣawuf  Ibn ‘Arabī yang terrangkum dari karya-karyanya. Yang pertama, pendapat Ibn ‘Arabī terhadap kedudukan kasyf dan ilhām, ia mengatakan bila setiap huruf dan tulisan di dalam al-Futuḥāt adalah arahan Ilāhiyyah, digerakkan oleh jiwa ruhani yang terpancar dari Tuhan.  Dia menambahkan bila ada rūh yang membisikkan pada tiap ungkapan dalam tulisannya.  Ibn ‘Arabī juga mengaku pernah berkumpul dengan para Nabi di saat tertidur,  dan meyakini bila syari‘at wahyu itu setara dengan ilhām.

Menurutnya, Allāh adalah sosok “Manusia Besar”,  dan membutuhkan wujud makhluk sebagaimana makhluk juga membutuhkanNya.  Tuhan ada di mana-mana dan bisa saja bersemayam di dalam arca, sehingga menyembahnya bukanlah dosa.  Dalam Fuṣūṣ ia mengatakan bila Nūḥ membolehkan kaumnya untuk menyembah berhala, meskipun menyembah berhala, sejatinya mereka hanya menyembah pada Allāh semata. Dosa atas kesalahan menyembah berhala adalah kesalahan yang dengan sendirinya melebur bersama keagungan pengetahuan Allāh.  Ibn ‘Arabī dalam karya dan juga ceramahnya mengajarkan dan menganjurkan paham waḥdah al-wujūd, menurutnya alam semesta ini ibarat cermin yang melihat pantulan wujud aslinya yang merupakan pancaran dari Tuhan, sebagaimana yang digambarkan oleh Plotinus.  Dalam konsepnya tentang waḥdah al-wujūd ini banyak ditemukan pertentangan antara satu pandangan dengan yang lainnya.

Ibn ‘Arabī menegasikan paham ḥulūl dan mengatakan bahwa yang benar adalah waḥdah al-wujūd. Menurutnya, hamba adalah Tuhan, Tuhan adalah hamba, dan Tuhan adalah segala hal yang diketahui.  atas definisi ini, ia menganggap bila al-Junaid wafat dalam keadaan tidak memahami tauḥīd, karena mendefinisikan tauḥid dengan membedakan antara yang ḥadīṡ dan Qadīm.  Ibn ‘Arabī mengingkari adanya pemisahan antara alam dan Tuhan. Menurutnya Tuhan tidak terpisahkan dari semesta, Tuhan terus memancarkan dirinya pada semesta.  Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, surga dan neraka tak ada bedanya, surga adalah nikmat bagi penghuninya, neraka pun demikian pula adanya. Kata ‘ażāb dalam al-Qur’ān ia tafsirkan dengan ‘ażūbah yang berarti kenikmatan bukan siksaan.

Ibn ‘Arabī menyeru kepada pluralisme agama, paham yang meyakini bila semua agama pada dasarnya sama, menyembah Tuhan yang sama, hanya saja caranya yang berbeda. Allāh melampaui sekat-sekat perbedaan akidah dari agama-agama.  Ia berpendapat bila semua agama benar termasuk Majūsī penyembah api dan penyembah berhala; karena saat menyembah, sejatinya mereka menyembah Allāh yang bersemayam pada setiap maklukNya. Ia berkata, “setiap agama benar, setiap yang benar berpahala, setiap yang berpahala bahagia, dan setiap yang berbahagia mendapatkan riḍā dari Allāh ta‘ālā.”

Menurut Ibn ‘Arabī, Fir‘aun tidak mati dalam keadaan kāfir melainkan dalam keadaan beriman yang sempurna.  Sedangkan pandangannya tentang walī, ia meyakini bila walī lebih mulai dari Nabi, walāyah lebih tinggi derajatnya dari Nubuwwah. Karena wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah, sedangkan karāmah dan ilhām masih tetap tersambung sampai sekarang.  Sumber ilhām para Walī berasal dari sumber yang sama dengan risālahnya para Nabi.

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *