Karya: Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil. (dosen Tasawuf dan Psikoterapi UIN Raden Mas Said Surakarta)
Shalat Syarī‘ah
Islam adalah kesatuan dari tiga pilar utama; Īmān-Islām-Iḥsān, tidak boleh dipisah dan diceraikan. Pemisahan ketiga pilar ini akan mengarah pada ketimpangan bahkan salah jalan. Dalam konteks shalat juga demikian. Para Sufi membagi shalat ini dalah tiga kesatuan; shalat syarī‘ah-shalat ṭarīqah-shalat ḥaqīqah.
Untuk mencapai tujuan kita harus menggunakan kendaraan, demikian pula shalat, sebagai bukti ketaatan kepada Tuhan. Inilah shalat syarī‘ah, shalat yang harus mengikuti tata tertib dan aturan dari Tuhan. Ada sufi yang menyebutnya dengan sembah raga. “Aku sudah ingat Tuhan, tidak perlu lagi shalat, bukankah inti dari shalat adalah mengingat Tuhan?” seringkali ungkapan semisal muncul dari mereka yang tidak utuh menjalankan pilar Islam. Kalau kita ingin bertemu Tuhan, lalu Tuhan menyuruh kita mengetuk lalu masuk pintu depan, etiskah bila menjebol jendela atau nyelonong lewat pintu belakang untuk menemuinya? Memang kita akan bertemu dengan-Nya, tapi mustahil disambut dengan ramah, pasti akan ditemui dengan amarah. Pintu depan inilah syarī‘ah. Tapi jangan hanya berhenti pada aspek syariah saja, karena sembah raga nanti akan berhenti menjadi olah raga. Ujungnya sebatas aktivitas fisik, shalat bikin bugar, aliran darah mengalir, badan bersih karena ṭahārah (wuḍū’) dan seterusnya. Tingkatan awal ini harus berlanjut pada level berikutnya, shalat ṭarīqah.
Shalat Ṭarīqah
Ada Sufi yang menyebutnya dengan sembah cipta. Ini adalah dimensi batin dari shalat. Ia tidak hanya olah raga jasmāniyyah-badaniyyah, bersucinya tidak sebatas wuḍū’ dan ghusl, tapi dengan amalan-amalan rūḥaniyyah, khususnya memerangi hawa nafsu. Kenapa banyak orang mengeluh susah khusū‘? karena belum bersuci pada level ini, masih penuh hasrat dan ambisi. Batinnya masih ramai dengan urusan duniawi. Kalau batin dan akal masih penuh sesak dengan hasrat dan ambisi nafsu, bahkan dengan sertifikat pelatihan shalat khusu‘ pun sulit untuk menjadi khusū‘. Yang membantu khusū‘ dalam shalat adalah saat hati tenang, damai, sunyi dari riuhnya urusan dunia. Berusaha memahami apa yang dibaca dalam tiap gerakan shalat. Bacaannya difahami dan dihayati. Inilah shalat ṭarīqah. Dari sini lahir khusū‘ yang berujung pada tanhā ‘an al-fakhsā’ wa al-munkar, menghindarkan diri dari hal-hal keji dan munkar. Kenapa masih ada saja yang rajin shalat tapi juga rajin korupsi? ada dua sejoli yang rutin shalat jamā‘ah berdua tapi berujung nginep di hotel melati? karena yang dilakukan baru level shalat syarī‘ah, belum dilanjut pada shalat ṭarīqah. Namun, menurut para Sufi, shalat ṭarīqah ini belum pada level puncak sebenarnya. Lever tertinggi dari shalat adalah ḥaqīqah, atau shalat dā’im, shalat yang efek ketenangannya tidak sebatas saat shalat saja, tapi berperan dalam setiap laku dan gerak hidupnya.
Shalat Ḥaqīqah
Level selanjutnya adalah ḥaqīqah, atau ada yang menyebutnya shalat dā’im. Inilah sembah rasa. Pada tahap ini, diri sudah bersih, lalu diisi terus menerus dengan kebaikan-kebaikan. Cara bersucinya dengan zuhd, sabr, rida, tawakkal, ikhlāṣ, dan syukur. Inilah level puncak dari shalat, ia tidak hanya melahirkan ketenangan tapi juga keteguhan hati, tidak lagi was-was dan khawatir dengan hidupnya.
Demikian dimensi shalat dari perspektif tasawuf. Tapi harus selalu diingat dan catat, dimensi dan level shalat ini saling berkelindan tidak boleh terpisah. Dan dalam mencapainya harus berurutan tidak boleh berloncatan.
(Foto: Geotimes)