(Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil. — Dosen Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta)
Saat melihat ulang jejak sejarah Islam klasik, tak bisa dipungkiri bahwa ada dua kekuatan besar yang membentuk wajah keislaman kala itu, mażab Ḥanbalī dan gerakan awal Tasawuf. Keduanya muncul di Baghdad pada abad ke-9 Masehi, di tengah gejolak intelektual dan spiritual yang luar biasa. Namun, menariknya, mereka sering dianggap berdiri terpisah di dua kutub yang saling bertentangan.
Ḥanābilah dikenal dengan ketegasannya, pemahaman kitab suci yang rigid dan kaku, dan ketaatan tanpa kompromi pada teks. Di sisi lain, Sufi awal hadir dengan semangat pencarian batin, eksplorasi spiritual, dan pendekatan keagamaan yang terasa lebih lembut dan personal. Jadi, apakah mereka musuh bebuyutan seperti yang selama ini diasumsikan?
Mitos Permusuhan
Banyak orang—bahkan hingga hari ini—percaya bahwa mażhab Ḥanbalī dan kaum Sufi adalah dua kubu yang tidak bisa disatukan. Tokoh seperti Ibn Taimiyyah, ulama Ḥanbalī abad pertengahan, sering dikutip sebagai penentang keras tasawuf. Tapi, apakah benar demikian?
Faktanya, para sejarawan Muslim maupun Barat yang lebih cermat justru menemukan sisi lain. Louis Massignon, misalnya, menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Ḥanābilah awal seperti Aḥmad ibn Ḥanbal sebenarnya memiliki hubungan spiritual dengan beberapa figur sufi awal seperti Bisyr al-Ḥāfī, meski memusuhi tokoh lain seperti al-Muḥāsibī. Jadi, ketegangan itu ternyata tidak sesederhana “Hanbalī anti-Sufi”. Hubungan mereka lebih rumit dan penuh nuansa.
Kesalehan Tradisional vs Eksplorasi Spiritual
Aḥmad ibn Ḥanbal sendiri adalah sosok yang sangat saleh, dalam pengertian konservatif. Ia percaya pada kekuatan spiritual Nabi, mencintai ḥadīṡ, dan menolak tegas filsafat kalām. Dalam catatan sejarah, ia bahkan pernah dikritik karena memiliki rambut Nabi yang disimpan di bajunya dan ingin dikuburkan bersamanya.
Tapi menariknya, dalam karya-karyanya, Aḥmad ibn Ḥanbal juga membahas tentang abdāl—konsep spiritual yang sangat dekat dengan ide walī dan quṭb dalam tasawuf. Ini menunjukkan bahwa, meskipun berhati-hati, ia tidak sepenuhnya menolak ide-ide spiritual yang berkembang dalam tasawuf. Namun demikian, ia sangat keras terhadap praktik-praktik yang dianggap menyimpang dari Al-Qur’ān atau Sunnah, termasuk majelis zikir, pertemuan-pertemuan yang dianggap sebagai bid‘ah, dan kegiatan “berkeliling” yang dilakukan oleh sebagian sufi.
Siapakah “Sufi”?
Pada awalnya, istilah “Sufi” bukanlah label keagamaan yang mapan. Istilah itu berasal dari “ṣūf” (wol), merujuk pada jenis pakaian sederhana yang dikenakan oleh para zāhid (asketik) sebagai simbol penolakan terhadap dunia.
Banyak dari tokoh awal yang disebut Sufi bahkan tidak menyebut diri mereka demikian. Mereka lebih dikenal karena kesederhanaannya, ketekunannya dalam ibadah, dan penolakannya terhadap kemewahan.
Ketika tasawuf mulai berkembang sebagai gerakan spiritual yang terorganisasi, barulah istilah “Sufi” mendapat makna yang lebih spesifik. Al-Junayd, seorang pemikir besar sufi di Baghdad, bisa dianggap sebagai “pendiri” bahasa dan kerangka tasawuf klasik yang kita kenal sekarang.
Perpecahan Awal: Kapan dan Mengapa?
Seiring berkembangnya pemikiran sufi, jarak antara kaum Hanbali dan Sufi makin tampak. Ahmad ibn Hanbal, misalnya, memusuhi dua guru utama al-Junayd—yaitu Sarī al-Saqaṭī dan al-Muḥāsibī. Keduanya dituduh sesat karena berspekulasi tentang Tuhan dan terlibat dalam teologi rasional (kalām), sesuatu yang sangat ditentang oleh kaum Hanbali.
Akan tetapi, tokoh-tokoh seperti Ma’ruf al-Karkhī dan Abu Hamzah—yang disebut sebagai Sufi awal—tetap memiliki hubungan baik dengan Ahmad. Ini menunjukkan bahwa perpecahan bukan terjadi secara serempak, melainkan tumbuh perlahan seiring perbedaan metode dan pendekatan dalam memahami agama.
Inkuisisi Sufi
Ada satu momen dramatis dalam sejarah hubungan Ḥanbalī-Sufi, yaitu Inkuisisi Sufi yang terjadi sekitar tahun 877 M, dipimpin oleh tokoh bernama Ghulām Khalīl. Ia menyusun daftar puluhan sufi untuk ditangkap, dan menuduh mereka menyebarkan ajaran sesat seperti cinta Tuhan (maḥabbah) dan kerinduan spiritual (syauq).
Namun ternyata, meski Ghulām sering dikaitkan dengan Ḥanābilah, banyak bukti menunjukkan bahwa ia bukan bagian dari arus utama mażhab Ḥanbalī. Ia dikritik keras oleh para tokoh Ḥanbalī sendiri. Bahkan, beberapa teks yang dikaitkan dengan Ghulām sebenarnya lebih sesuai dengan pemikiran al-Barbahārī, seorang tokoh Ḥanbalī yang hidup beberapa dekade kemudian.
Al-Barbahārī adalah figur penting dalam sejarah Ḥanābilah. Ia adalah pemimpin karismatik yang berani menentang otoritas, bahkan melakukan demonstrasi moral di jalanan Baghdad: menyerang toko-toko yang menjual arak, menghancurkan alat musik, dan menolak festival-festival sufi yang dianggap bid’ah.
Yang menarik, al-Barbahārī juga merupakan murid spiritual dari Sahl al-Tustarī, seorang sufi besar dari Basrah. Ia membawa semangat amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) ke dalam aksi sosial, sebuah ciri khas sufi pra-klasik yang kemudian hilang dalam tasawuf al-Junayd yang lebih halus.
Dengan kata lain, al-Barbahārī adalah jembatan antara Ḥanābilah dan Tasawuf awal. Ia mungkin tidak cocok duduk dalam majelis zikir, tetapi semangatnya mengingatkan kita pada para sufi pemberani yang menegur khalifah dan memecahkan anggur memabukkan di istana.
Bukan Hitam Putih: Ḥanbalī yang Dekat dengan Sufi
Seiring waktu, ternyata cukup banyak tokoh Ḥanābilah yang tidak hanya simpatik terhadap tasawuf, lebih dari itu, mereka juga seorang sufi. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, murid Ibn Taimiyyah, misalnya, menulis banyak karya tentang perjalanan spiritual, fana’, dan maḥabbah, tentunya dari perspektif Ḥanābilah.
Jadi, apakah Ḥanābilag dan Sufi benar-benar bermusuhan dan selalu bertentangan? Tidak sesederhana itu. Hubungan keduanya penuh tarik-ulur. Kadang saling menginspirasi, kadang saling menolak. Bahkan Ibn Taimiyyah sendiri, yang sering dituduh anti-Sufi, justru menulis banyak karya tentang ajaran tasawuf dan para sufi.
Sebaliknya, banyak sufi yang dalam praktik ibadahnya justru sangat ketat dan tekstual, sebagaimana ajaran Ḥanābilah. Mereka menghindari ritual berlebihan dan menekankan ketaatan yang lurus.
Kesimpulan: Saatnya Berdamai?
Sejarah menunjukkan bahwa permusuhan antara Ḥanbalī dan Sufi lebih merupakan hasil dari dinamika sosial dan politik daripada ajaran yang benar-benar bertolak belakang. Keduanya punya titik temu—dalam kecintaan pada Nabi, dalam dorongan untuk hidup saleh, dan dalam semangat untuk membentuk masyarakat yang lebih baik.
Sudah waktunya kita berhenti melihat Ḥanbalī dan Sufi sebagai dua kutub yang saling memusuhi. Keduanya adalah bagian dari khazanah Islam yang kaya dan kompleks. Di era seperti sekarang, ketika umat Islam menghadapi tantangan dari luar dan dalam, alangkah baiknya jika kita belajar dari masa lalu—untuk menemukan cara hidup berdampingan dalam perbedaan.
Sebagaimana al-Junayd menyatakan bahwa “air laut tidak akan mengotori bintang di langit,” perbedaan pendekatan tidak harus menghilangkan nilai dari masing-masing jalan. Ḥanbalī dan Sufi bisa jadi dua sisi dari koin yang sama: mencari riḍā Tuhan dengan cara yang paling tulus, meski dengan jalan yang berbeda, cara yang tak sama.
(Foto: https://www.muhammadiyahgoodnews.id/)