Rabu (26/02) Ikatan Psikologi Sosial bersama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengadakan Workshop Pengukuran dan Identifikasi Militan Ekstremisme serta Metode Penanganan Yang Humanis Sesi C (Metode Penanganan Lanjut: Teknik Deradikalisasi Pendekatan Psikologis). Workshop ini merupakan serangkaian dari workshop sebelumnya dan merupakan workshop deradikalisasi sesi terakhir. Dosen Tasawuf dan Psikoterapi, Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog, mendapatkan kehormatan berupa undangan untuk mengikuti workshop tersebut. Workshop tersebut diadakan di hotel The Margo Depok Jawa Barat.
Prof. Hamdi Muluk dan Dr. Mirra Noor Milla menjadi pembicara dalam kesempatan tersebut. Keduanya merupakan dosen sekaligus peneliti psikologi terorisme asal Universitas Indonesia. Pada workshop tersebut, Hamdi menyampaikan bahwa terdapat proses panjang dalam pembentukan terorisme. Salah satu faktor pentingnya adalah kehilangan makna hidup seseorang yang kemudian ditindaklanjuti dengan menggunakan ayat untuk melakukan sesuatu guna mencapai makna hidup. Dengan kata lain, seseorang terdorong ingin mencapai eksistensi karena perasaan ketidakbermaknaan. Akhirnya, seseorang dapat menjadi teroris. Selain itu, juga berkat adanya dinamika yang berkesinambungan antara narasi kekerasan dari mentor, adanya jejaring teroris yang mendukung, dan juga kebutuhan (baik individu maupun kelompok). Hamdi juga menyampaikan bahwa tidak ada peristiwa teroris tunggal. Teroris yang beraksi sendirian pada dasarnya tetap memiliki jejaring, namun dalam aksi terornya ia hanya melakukan sendirian.
Hal yang harus diperhatikan bahwa terstrukturnya terorisme gaya lama dipelajari oleh terorisme saat ini sehingga memunculkan gaya baru. Misalkan, terorisme gaya lama menekankan soliditas kelompok dan komunikasi yang erat antar mereka. Mereka hanya akan melakukan aksi teror jika rencananya direstui oleh pimpinan mereka. Soliditas dan komunikasi yang baik ini ternyata merugikan para terorisme karena jika satu teroris tertangkap maka akan mudah terbongkar dan diberantas. Sehingga, teroris saat ini cenderung beraksi sporadis dan skala kecil. Dimanapun berada mereka didorong atas nama jihad sehingga banyak melakukan aksi teror yang kurang beraturan, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu pada penusukan Wiranto. Aksi tersebut akhirnya sulit untuk ditelusuri.
Adapun Mirra menekankan bahwa terdapat dua jenis program untuk menangani terorisme dan radikalisme. Pertama, deradikalisasi yang berupa proses mengubah pola pikir radikal menjadi moderat. Kedua, disengagement yang merupakan program yang bertujuan memotong jejaring seseorang dengan kelompoknya, menyibukkannya dengan peningkatan kemampuan vokasional, dan memberinya pekerjaan yang layak. Kedua program tersebut hendaknya tidak perlu dibenturkan, namun diintegrasikan. Proses pertama dalam psikoterapi untuk para radikalis dan teroris adalah dengan mengkomplekskan identitas dirinya. Para radikalis dan teroris hanya memiliki identitas tunggal, yaitu sebagai mujahid. Identitas tunggal ini bisa dikomplekskan sehingga menjadi kabur, misalkan ia sebagai ayah, tulang punggung keluarga, guru ngaji, teman akrab bagi sesama. Selanjutnya, psikoterapis mulai membuka pola berpikirnya secara perlahan. Hal yang penting dicatat adalah tidak perlu menyinggung ideologinya terlebih dahulu karena sikap tersebut justru akan memunculkan penolakan dari radikalis dan teroris. Tahap berikutnya adalah para radikalis dan teroris diajarkan tentang mengenal dan memahami emosi dan cara mengungkapkan emosi dengan baik. Setelah itu, para radikalis dan teroris akan didorong untuk menyadari bahwa ada kendali kelompok terhadap dirinya dan dirinya harus mampu membedakan antara dirinya dengan kelompoknya. Para radikalis dan teroris melakukan teror akibat adanya identitas tunggal antara dirinya dengan kelompok. Terakhir, para radikalis diajarkan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
Hal penting lainnya dalam proses psikoterapi tersebut adalah hendaknya memahami betul tentang materi yang disukai oleh para radikalis dan teroris, serta menggunakan metode yang menarik. Sisi afeksi juga jangan sampai ketinggalan untuk ditangani, misalkan dengan memperbesar rasa malu karena melakukan aksi teror. Hal ini didukung oleh budaya Indonesia yang menekankan kerekatan. Rasa malu bisa muncul dengan cara menemukan para teroris dengan keluarga korban terorisme. Psikoterapis juga hendaknya menggunakan pendekatan yang humanis sehingga mampu membangun kedekatan dengan para radikalis dan teroris. Dengan demikian, psikoterapi dapat berjalan optimal dengan dibuktikan oleh pengukuran tentang efektifitas psikoterapi berupa deradikalisasi dan disengagement.