(Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil. — Dosen Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta)

Bayangkan seseorang yang mampu menyatukan antara filsafat yang mendalam, pengalaman spiritual, serta puisi cinta yang mempesona—itulah Ibn ‘Arabī, seorang sufi agung dari Andalusia yang hidup di abad ke-12 dan 13. Namanya Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn ‘Alī ibn Muḥammad ibn ‘Arabī al-Ṭa’ī al-Hatimī, namun dunia lebih mengenalnya sebagai Ibn ‘Arabī, atau dengan gelar al-Syaikh al-Akbar, Guru Sufi Terbesar.

Sejak kecil, Ibn Arabi sudah akrab dengan khazanah keilmuan Islam. Ia tumbuh di Seville, kota kosmopolitan yang saat itu menjadi pusat keilmuan Islam. Di sana, ia belajar Al-Qur’an, hadis, fikih, filsafat, dan tentu saja, tasawuf. Bahkan, ia sempat bertemu dengan filsuf besar Ibn Rusyd—pertemuan yang menunjukkan bahwa jalan spiritual dan jalan rasional memang bisa bersilangan, meskipun tidak selalu searah.

Namun, bukan gelar atau kecerdasannya yang membuat Ibn ‘Arabī begitu luar biasa. Ia dikenal luas karena gagasan filosofisnya yang otentik, terutama mengenai “Waḥdah al-Wujūd”—kesatuan wujud. Bagi Ibn ‘Arabī, hanya Tuhan yang benar-benar memiliki wujud sejati. Alam semesta, manusia, segala sesuatu, semuanya hanyalah cerminan atau pancaran dari keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, keberadaan kita adalah pantulan dari wujud Ilahi. Tentu, ide semacam ini tidak disambut hangat oleh semua kalangan. Sebagian menganggapnya sesat, karena mengaburkan batas antara Tuhan dan makhluk. Tapi bagi para pencari makna, konsep Ibn ‘Arabī justru membuka gerbang pemahaman yang dalam tentang kehadiran Tuhan di setiap sudut realitas.

Dalam kisah hidupnya yang panjang, Ibn ‘Arabī mengembara dari Spanyol hingga ke Damaskus. Ia pernah bermukim di Makkah, di mana ia mendapatkan banyak pengalaman spiritual yang kemudian menginspirasi karya-karya monumentalnya. Salah satu karya terkenalnya yang ditulis di sana adalah Tarjumān al-Asywāq, kumpulan puisi cinta yang tampak duniawi, namun sesungguhnya menggambarkan kerinduan mendalam kepada Sang Ilahi. Magnum Opusnya, Al-Futuḥāt al-Makkiyyah, adalah semacam ensiklopedia mistik yang menggabungkan pengalaman pribadi, pemikiran metafisik, serta penjelasan atas prinsip-prinsip spiritual dalam Islam. Sedangkan Fuṣuṣ al-Ḥikam, meski lebih ringkas, adalah karya yang sangat berpengaruh, karena membahas kebijaksanaan ilahi melalui kisah para nabi. Tak hanya teori, Ibn ‘Arabī juga memperkenalkan konsep al-Insān al-Kāmil (Manusia Sempurna), sosok yang mencerminkan seluruh nama dan sifat Tuhan, menjadi penghubung antara langit dan bumi. Baginya, Nabi Muhammad adalah perwujudan paling sempurna dari konsep ini, manusia yang menyatukan ‘ubūdiyyah (penghambaan) dan khilāfah (kepemimpinan Tuhan).

Warisan Ibn Arabi tidak berhenti di zamannya. Murid-muridnya, seperti Ṣadr al-Dīn al-Qunawī, hingga tokoh-tokoh besar seperti Jalāluddīn Rūmī dan Hamzah Fansurī, menyebarkan dan mengembangkan ajarannya di berbagai belahan dunia Islam—dari Persia, Turki, India, hingga ke Nusantara. Sudah lebih dari delapan abad berlalu sejak wafatnya di Damaskus, pemikiran Ibn Arabi masih hidup, menginspirasi banyak orang yang mencari kedalaman spiritual dan keindahan hakikat. Dalam dunia yang semakin riuh dan bising dengan materialisme dan rasionalisme, Ibn Arabi mengajak kita untuk diam sejenak dan mendengarkan bisikan cinta Tuhan yang bersemayam di balik segala yang ada.

#PhiloSufi

(Foto: Alif.id)

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *