Oleh: Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.

“Jangan pernah merasa berkorban, bila sejatinya yang kau lakukan adalah kewajiban”

         Qurbān sejatinya adalah pengakuan (syahādah) akan kebesaran Tuhan, ia merefleksikan ketaatan dan kepatuhan utuh; melakukan perintah Allāh dengan penuh taat, meski sejatinya berat. Qurbān juga bermakna kerelaan untuk mengeluarkan sebagian yang kita punya, ia adalah menifestasi sejati dari cinta. Bukankah bila kita sudah tulus mencinta, akan rela melakukan segala demi yang dicinta meski secara logika berat dan merugikan kita? lihatlah pengorbanan orangtua pada anaknya, suami pada istri dan sebaliknya.

Kisah Nabi Ibrāhīm dan Ismā‘īl yang ada dibalik ritual tahunan idul aḍḥā seringkali hanya kita lihat dari kacamata ritual-formalitas belaka, sehingga tak jarang, kita melakukannya sekedarnya, sebatas pesta-pora makan raya tapi miskin makna. Hal ini diperparah lagi dengan kebiasaan kita yang latah ‘ngikut tren’; musim sepeda, beli sepeda, musim bola beli sepatu bola, musim mancing, mengoleksi alat pancing, tapi saat musim idul adha? bukan ikut berkurban tapi justru rebutan kupon dan membeli tusuk sate dan arang.Setidaknya ada empat hal yang perlu kita renungkan bersama dibalik perayaan Qurbān.

Pertama, ketaatan Ibrāhīm. Bertahun-tahun menikah tak kunjung mendapat anak, setelah lahir anak pertama (Ismā‘īl), Allah perintahkan Ibrāhīm ‘membuang’ anak dan ibunya ke tempat gersang yang jauh dari peradaban dan kehidupan. Tidak berhenti di situ, selang beberapa tahun kemudian, saat anak yang dirindukan itu beranjak remaja, Ibrāhīm menjenguknya dengan penuh rindu yang amat terpendam. Tapi apa yang kemudian Tuhan perintahkan? Tuhan berfirman agar Ibrāhīm menyembelih putra yang dirindu dan dicintanya. Kalaulah kita punya banyak harta, lalu diminta untuk mengeluarkan sebagian dari harta kita, tentu beratnya tidak seberapa. Tapi bila kita diminta mengorbankan yang paling berharga milik kita, disitulah letak ‘pengorbanan’ yang sesungguhnya. Hal inilah yang dialami oleh Ibrāhīm yang dilaluinya dengan kepatuhan.

Kedua, Kesabaran Ismā‘īl. Lahir sebagai anak yang dinanti kehadirannya, tapi ‘dibuang’ saat masih dibuaian, lalu saat menginjak remaja, sang ayah yang lama ‘menelantarkan’ datang dengan pesan ‘penyembelihan’. Namun apa sikap dan jawaban Ismā‘īl atas perintah Tuhan? Ia berkata lantang kepada ayahnya,“kerjakanlah apa yang Allāh perintahkan, niscaya aku akan menjalaninya dengan kesabaran”. Lihatlah, setelah menjalani fase penderitaan, saat dipertemukan kembali dengan ayahnya justru diminta agar dikurbankan. Tapi Ismā‘īl menghadapinya dengan penuh kesabaran. Qurbān harusnya menjadi momen yang tepat untuk mengibrahimkan ketaatan dan mengismailkan kesabaran.

Ketiga, ikhtiār dan pantang menyerah yang diteladankan oleh Hajar, ibunda Ismā‘īl. Dinikahi oleh Ibrāhīm, setelah melahirkan ‘dibuang’ ke tengah sahara gersang bersama bayi Ismā‘īl, tapi ia menjalaninya dengan tegar, tenang, dan optimisme. Saat sang putra meronta kehausan, ASInya ‘mampet’ karena tak punya asupan, Hajar berlari bolak balik tujuh kali Ṣafā-Marwā mengejar ‘fatamorgana’ air untuk diberikan pada putranya. Dan apa yang terjadi? justru mata air zam-zam keluar deras dari hentakan mungil kaki Ismā‘īl, anaknya. Di sini kita diajari apa itu ikhtiār! bukankah Hajar cukup duduk diam berdoa, menangis memohon kepada Tuhan?! tidak, Islam tidak mengajarkan demikian. Meskipun pada akhirnya, hasil dari ikhtiar kita justru bukanlah sebab dari keberhasilan, tapi justru di situlah letak pelajaran. Bila ingin sesuatu, usahalah! itu yang dilihat Tuhan. Bukan berpangku tangan dan menangis memohon tanpa ada usaha yang dilakukan. Kisah serupa juga bisa kita temukan dalam al-Qur’ān saat Maryam melahirkan ‘Īsā as.

Yang terakhir, keempat, Qurbān mengajarkan kita tentang ‘spiritualisasi dunia’. Seringkali hal ini terlepas dari penghayatan kita. Makan, minum, bekerja, dan segala giat duniawi, bila kita niati dengan motivasi ibadah, maka hal-hal berbau ‘dunia’ tersebut akan menjelma ibadah yang bernilai ukhrawi. Maka, mari mulai dari sekarang, dari keteladanan Ibrāhīm, Ismā‘īl, dan Hajar, melaksanakan perintah Allāh dengan kepatuhan yang utuh, kesabaran penuh, dan ikhtiar yang teguh. Dan memulai segala hal duniawi dengan motivasi ibadah, sehingga setiap langkah dan perbuatan kita akan bermakna ukhrawi. Wa Allāh A‘lam bi al-Ṣawāb

#PhiloSufi 2020

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *