Oleh: Sidiq Rahmadi
Pendahuluan
Perkembangan Islam di Indonesia sebagian besar adalah akibat jasa dari kaum sufi, hal ini di sebabkan karena kaum sufi lebih kompromis, penuh kasih sayang dan cenderung terbuka, sehingga ajaranya mudah di terima. Aceh salah satu tempat yang ada di Indonesia memainkan peranya yang sangat penting dalam perkembangan ilmu tasawuf , salah satu tokoh yang sangat berpengaruh ialah Abdur Ra’uf As- Sinkili yang hidup pada sekitar abad XVII Masehi, ketika masyarakat melayu sedang di landa pertikaian seputar paham martabat alam tujuh yang di kenal dengan wujudiyyah, antara kubu Hamzah Al Fansuri bersama Syamsudin As-Sumatrani yang membawa paham tasawuf falsafi dengan menjadikan ibn Arabi sebagai kiblat pemikiranya, sebagai pelopor dan kubu Nuruddin Ar-Raniri dengan faham tasawuf suninya sebagai penentang. Dengan kealiman yang dimiliki, As Sinkili dapat berdiri di antara dua kubu yang bertikai dan berupaya untuk mendamaikan.
1. Biografi Abdur Ra’uf As- Sinkili
Nama Lengkap Syaikh Abdur Ra’uf As Singkili adalah Abdur Ra’uf bin Ali Al- Jawi Al- Fansuri As- Singkili. Iahir perkirakan lahir pada tahun 1024 H (1615M).[1] tahun kelahiranya tidak di ketahui secara pasti ada juga yang menyebut (1606-1637M). Menurut Hasyini, sebagaimana di kutip Azyumardi Azra, ayah As-Singkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra pasai , kemudian menetap di Fansur,Barus, sebuah kota pelabuhan tua di pantai barat sumatra.[2]
Mula-mula As Sinkili mendapat pendidikan di desa kelahiran , singkel, dari ayahnya sendiri yang terkenal alim. As singkili kepada ayahnya ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab, mantiq, filsafat, sastra Arab/Melayu, dan bahasa Persia. Di kota Fansur tempat As singkili belajar dan bertempat tinggal inilah dulu pada masanya merupakan tempat terkenal dengan pusat pengkajian islam serta titik penghubung antara Islam melayu dengan Islam Asia Barat juga Asia selatan. Pendidikanya kemudian dilanjutkan di Samudra Pasai tepatnya di Dayah Tinggi di sini ia berguru kepada Syamsuddin As- Sumatrani.
Pada tahun 1642 Masehi, As singkili pergi ke Arab Saudi untuk menuntut ilmu dari para ulama, seperti Syaikh Ahmad Al Qushashi dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani. Selama di sana , ia mempelajari berbagai cabang ilmu , khususnya ilmu tasawuf dan tarekat. Ia bahkan menginisiasi para pelajar dari jawa ke tarekat Syattariyyah. Bekenaan dengan perjalanan rohaninya, As sinkili boleh memakai “Khirqah”, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk. Ia telah di beri selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai pertanda pula bahwa ia telah di lantik sebagai Khalifah Mursyid dalam orde tarekat Syatariah. Yang berarti pula, ia boleh memba’iat orang lain. Telah diakui bahwa ia mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad.
Abdurrauf tidak memberikan angka tahun kembalinya ke Aceh atau tanah airnya. Namun, ia mengisyaratkan bahwa ia kembali tidak lama setelah wafatnya al-Qushashi, dan setelah al-Kurani mengeluarkan untuknya sebuah ijazah untuk menyebarkan pengajaran dan ilmu yang telah diterima daripadanya. Atas dasar ini, kebanyakan ahli yang mempelajari mengenai Abdurrauf berpendapat, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1584 H/1661 M. Menurut riwayat, Abdurrauf mengambil tempat di Peunayong, sebuah daerah di Bandar Aceh Darussalam, di tepi sungai Aceh. Di tempat inilah ia tinggal sejak pertama kedatangannya dari Arab Saudi sampai ia meninggal dunia.[3]
Setelah itu Abdurrauf kembali ke Indonesia dan kemudian ia diangkat menjadi mufti dan Qadhi Malik al- Adil di Kerajaan Aceh, ia selain bekerja di kerajaan juga membuka dayah dan tetap mengajar. Pada saat menjadi mufti itulah Sultana memintanya mengarang buku fiqih untuk digunakan di seluruh wilayah taklukan Kesultanan Aceh Darussalam
2. Karya-karya As-Singkili
As Singkili selain di kenal sebagai ulama sufi juga di kenal sebagai pengarang, di antara karyanya yaitu :
- Di bidang ilmu fiqh, ia menulis Mir’ah Ath Thullab fi Tasyri’ Al- Ma’rifat Al-Ahkam As- Syar’iyyah li Al-Malik Al-Wahhab.
- Di bidang ilmu tafsir, ia menulis Tarjamah Al Mustafid. Kitab ini merupakan karya monumentalnya dan merupakan tafsir pertama yang di tulis dalam bahasa melayu oleh ulama melayu atau Nusantara. Selain itu, kitab ini merupakan satu-satunya terjemah Al quran yang lengkap di melayu selama hampir tiga abad.
- Di bidang ilmu hadis, ia menulis Syarah Arba’in An Nawawi dan Al Mawa’izh Al- Badi’ah.
- Di bidang ilmu kalam, ia menulis Kifayat Al-Muhtajin ila Masyrab Al Muwahhidin Al- Qa’ilin bi Wahdah Al Wujud.
- Di bidang Tasawuf, ia menulis As-Simth Al-Majid dan Risalah Mukhtasharah fi Bayan Syuruth Asy-Syaikh wa Al-Murid.[4]
As Singkili adalah ulama sufi indonesia yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keilmuan tasawuf pada saat itu. As Singkili Namanya di abadikan di dalam karya-karyanya, hal ini di tunjukan dengan keberhasilanya, dalam mendidik muridnya sehingga mempunyai reputasi gemilang. Di antaranya Syaikh Burhanuddin Ulakan di Minangkabau dan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan di Tasikmalaya.
3. Pemikiran Tasawuf Abdur Ra’uf As –Singkili
- Kesesatan ajaran tasawuf wujudiyyah
Sebelum As Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di aceh telah berkembang paham wujudiyyah. Ajaran ini di anggap Ar-Raniri sebagai ajaran sesat dan penganutnya di cap murtad , karena itu terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan Ar-Raniri di nilai As-Singkili sebagai perbuatan yang terlalu emosional. Demikian tanggapan As- Singkili menanggapi ajaran wujudiyah.[5]
Pemahaman Abdul Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya dari pada aspek imanensi, yang menurutnya, sebagai paham kaum wujudiyyah. Argumenya berdasarkan kepada Nur Muhammad , yang darinya tuhan menciptakan a’yan tsabitah, sebagai sumber a’yan kharijah (entitas-entitas lahir), yakni ciptaan dalam bentuk yang konkret, yang berbeda dari wujud yang mutlak. Pemahamanya ini merupakan penolakan terhadap faham wujudiyyah yang berkembang di aceh pada masa itu, seperti yang telah di laporkannya pada gurunya agar menerima konsep martabat tujuh sesuai dengan faham ortodoks yang dianutnya.[6]
- Rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat
As-Singkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dengan syariat, ajaran Tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki,yaitu Allah. Alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud yang hakiki , tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya , jelaslah bahwa Allah berbeda dengan Alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam) dan memancarkan bayangan (Allah) tentu memiliki keserupaan. Dengan demikian, sifat-sifat manusia adalah bayangan- bayangan Allah , seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah.
- Dzikir
Dalam Pandangan As-Sinkili, dzikir merupakan usaha untuk melepaskan diri dari sikap lalai dan lupa. Dengan berdzikir , hati selalu mengingat Allah . tujuan dzikir adalah mencapai fana (yang hanya wujud Allah). Itu berarti wujud yang berdzikir bersatu dengan wujud-Nya, sehingga yang mengucapkan dzikir adalah Dia[7]
- Martabat Perwujudan Tuhan
Ajaran tasawuf As-Sinkili yang lain yang berkaitan dengan martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau t’ayyun awwal, yaitu telah terciptanya hakikat muhammadiyah yang berpotensi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyah atau ta’ayyun tsani yang juga di sebut dengan ‘ayan tsabitah dan dari sinilah alam tercipta . menurutnya, ucapan “Aku Engkau, Kami Engkau, dan Engkau Dia,” hanya benar pada tingkat wahdah atau ta’yyun awwal karena unsur Tuhan dan unsur manusia pada tingkat itu belum dapat di bedakan. Tingkatan itulah yang di maksud Ibnu Arabi dalam Syair-syairnya . akan tetapi, pada tingkatan wahidiyyah atau ta’yyun tsani, alam sudah memiliki sifatnya sendiri. Tuhan adalah cermin bagi insan kamil dan sebaliknya. Namun, Dia bukan sesuatu yang lainya. Bagi As-Sinkili, jalan untuk menegaskan Tuhan adalah dengan dzikir la ilaha ilallah sampai tercipta fana.[8]
4. Abdurrauf dan Tarekat Syattariyah
Dalam sejarah tasawuf di Indonesia beliau dianggap sebagai pembawa pertama tarekat Syattariyah ke wilayah Nusantara. Beliau sebenarnya memperoleh ijazah dalam dua tarekat, yaitu tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Abdurrauf lebih mengamalkan tarekat Syattariyah tidak sama dengan teman seperguruannya Syekh Yusuf al- Makassari. Syekh Yusuf menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah. Pilihan ini kelihatannya mempunyai alasan tertentu , padahal jika di lihat teman seperguruannya, gurunya pun lebih dikenal sebagai penyebar tarekat Naqsyabandiyah. Dalam Pasal Pada Menyatakan Masyaikh Ahli al-Tariqah, Abdurrauf menyebutkan bahwa tarekat Syattariyah lebih mudah dan lebih tinggi, dasar amalannya dari Qur’an dan hadis dan dikerjakan oleh sekalian sahabat.[9]
Menurut keterangan lain bahwa Tarekat Syattariyah yang masuk ke Cirebon silsilahnya adalah: “Abdurrauf menerima, dari Syekh Ahmad al-Qushashi, dari Sayyidina Rabbi Mawahib Abdullah Ahmad, dari Syekh Syibghatillah, dari Sayyid Wahiduddin Alwi, dari Syekh Sayyid Muhammad Ghauts, dari Syekh Haji Mushri, dari Syekh Abdullah as-Syatari, dari Syekh Muhammad Arif, dari Syekh Muhammad Hadaquli Mawara‟ al-Nahar, dari Qutub Abi Muzaffar Maulana Rumi al-Tusi, dari Syekh Yazid al-Isyqi, dari Syekh Muhammad Maghribi, dari Abu Yazid al-Bustami, dari Imam Muhammad al-Baqir, dari Sayyidina Husein al-Syahid, dari Ali bin Abi Talib, dari Nabi Muhammad Saw. dari Allah Swt. Tarekat Syattariyah yang dibawa dan diajarkan Syekh Abdurrauf di Indonesia dan Tanah Melayu, menurut Bisri Affandi telah membuka jalan kepada mereka yang mendambakan pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui amal zikir. [10]
Abdurrauf adalah seorang yang cukup gigih dan berhasil menyebarkan ajaran tarekat Syattariyah di Aceh, yang kemudian berkembang ke berbagai pelosok di Nusantara seperti wilayah sumatera,cirebon, dan jawa. Dia ulama yang lebih mengedepankan toleransi dan tidak mudah menyalahkan pendapat atau tingkah laku seseorang sebelum di telisik akar permasalahanya, hal ini di buktikan dengan pengambilan keputusan ketika ada perseteruan paham wujuddiyah atau martabat tujuh yang di bawa hamzah fansuri dan di pertentangkan Ar’Raniri dengan pendapat yang ekstrim sampai mengklaim sesat dan mengkafirkan. As singkili juga mengedepankan sifat lemah lembut dan intelektualnya tinggi hal ini di latar belakangi oleh pendidikan yang di jalaninya yang ia menerima pertama dari ayahnya dan kemudian berguru ke syaikh Syamsudin As-Sumatrani dan ke timur tengah belajar kepada al Qushashi ilmu tasawuf dan al Kurani ilmu pengetahuan. Tidak heran jika As Singkili memiliki pemikiran yang cemerlang , hati lembut dan mempertimbangkan suatu persoalan karena pendidikan yang jalaninya sudah mumpuni. Menurut saya As-Singkili adalah sosok ulama yang tidak pandai dalam hal agama saja tetapi juga pandai dalam semua bidang seperti seni,politik, dan sosial, kalau bahasa anak sekarang multitalenta.
Kesimpulan
Nama Lengkap Syaikh Abdur Ra’uf As Singkili adalah Abdur Ra’uf bin Ali Al- Jawi Al- Fansuri As- Singkili. Tahun kelahirnya ada dua versi, ada yang menyebutkan lahir tahun 1615 ada juga yang menyebutkan 1606 di singkel. As Sinkili pertama mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri yang terkenal alim. As singkili kepada ayahnya ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab, mantiq, filsafat, sastra Arab/Melayu, dan bahasa Persia, setelah itu ia berguru ke Syekh Syamsudin As Sumatani dan kemudian ke timur tengah melanjutkan pendidikanya. Setelah itu banyak karya yang telah ia buat yaitu ilmu fiqih, kalam,tasawuf, hadis, maupun tafsir dan mempunyai murid yang cukup gemilang prestasinya yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan di Minangkabau dan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan di Tasikmalaya. Pandang As Sinkili terhadap tasawuf ada lima pokok pembahasan yaitu : Kesesatan ajaran tasawuf wujudiyyah, Rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat, Dzikir, Martabat Perwujudan Tuhan. Yang kesemua itu di kemas rapi dengan penjelasan-penjelasan yang bagus, runtut, dan seakan-akan kita di ajari akan hakikat yang sebenarnya tentang ilmu tasawuf menurut pandangan Abdul Ra’uf As Singkili dengan ajaran ilmu dari gurunya, lalu di implementasikan lewat amalan tarekat Syatariyah yang di bawanya..
Daftar Pustaka
Amin Syamsul, Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Amzah.
Damanhuri. Umdah Al-Muhtajan: Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara. Ulumuna Jurnal Studi Keislaman. Vol. 17 No. 2, 2013.
Rosihon, Anwar Sholihin. 2014. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Sholihin. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia .
Syukur, Syamzan. Kontroversi Pemikiran Abdul Rauf Ai Singkili. Jurnal Adabiyah. Vol. XIV No. 1, 2015.
[1] Syamsul Munir Amin. Ilmu Tasawuf. (Jakarta : Amzah,2012) hal. 343
[2] Rosihon Anwar , Sholihin. Ilmu Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia,2014)hal.252
[3] Damanhuri,” Umdah Al-Muhtajan: Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman. Vol. 17 No. 2, Desember 2013.hal 308
[4] Syamsul Munir Amin. Ilmu Tasawuf. (Jakarta : Amzah,2012) hal. 345
[5] Syamsul Munir Amin. Ilmu Tasawuf. (Jakarta : Amzah,2012) hal. 345
[6] Sholihin.Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. (Bandung: CV Pustaka Setia .2001)hal.53
[7] Syamsul Munir Amin. Ilmu Tasawuf. (Jakarta : Amzah,2012) hal. 346
[8] Ibid.hal 346
[9] Damanhuri,” Umdah Al-Muhtajan: Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman. Vol. 17 No. 2, Desember 2013.hal 310
[10] Ibid.hal 313