Oleh: Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog (Dosen Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta)
Tasawuf dan Psikoterapi merupakan salah satu program studi yang sedang berkembang di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), baik negeri maupun swasta. Program studi Tasawuf dan Psikoterapi merupakan program studi yang bertujuan untuk membumikan dan mengoperasionalisasikan konsep-konsep tasawuf menjadi psikoterapi yang dapat dipraktikkan untuk mengatasi gangguan fisik, mental, dan spiritual. Program studi tersebut lahir sebagai tindak lanjut dari respons paradigma keislaman terhadap keterbatasan paradigma yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat. Para ilmuwan Islam menganggap bahwa paradigma Barat sebagai paradigma yang sekuler sehingga tidak melibatkan Tuhan dalam kehidupan manusia dan bersifat antroposentris. Padahal, dinamika kehidupan manusia tidak terlepas dari identitas manusia sebagai makhluk Tuhan dan hubungannya kepada Tuhan.
Dalam konteks psikoterapi, para ilmuwan Islam menganggap bahwa psikoterapi yang dilahirkan dari paradigma Barat tidak bersifat holistik. Hal ini imbas dari psikoterapi Barat yang fokus secara mendalam pada satu aspek. Misalkan, paradigma psikoanalisis hanya berfokus pada aspek masa lalu manusia dan alam bawah sadar manusia; paradigma behavioristik hanya berfokus pada proses belajar dan interaksi manusia dengan lingkungan; paradigma kognitif hanya berfokus pada distorsi kognitif serta pikiran dan keyakinan irasional; dan paradigma humanistik hanya berfokus pada pertumbuhan diri, aktualisasi diri, dan makna hidup. Hampir seluruh paradigma Barat tidak menyentuh sisi spiritualitas dalam dinamika kejiwaan manusia. Paradigma transpersonal dan logoterapi membahas spiritualitas, akan tetapi para tokohnya tidak memberikan definisi yang jelas sehingga dianggap tidak menyentuh hubungan manusia dengan Tuhan. Padahal, para ilmuwan Islam meyakini bahwa gangguan fisik dan psikis yang terjadi pada manusia tidak terlepas dari faktor hubungan manusia dengan Tuhan, baik dalam konteks religiositas maupun spiritualitas.
Berangkat dari spirit antitesis tersebut, maka para ilmuwan Islam berupaya membangkitkan kembali kejayaan konsep-konsep Islam di masa lalu, kemudian diramu kembali menjadi paradigma yang lebih holistik dalam memandang manusia. Salah satunya adalah konsep tasawuf. Meskipun langkah ini berkonsekuensi pada adanya reduksi terhadap konsep dan praktik dari tasawuf, berbagai penelitian baik studi literatur maupun penelitian lapangan telah menunjukkan efektivitas pelaksanaan konsep tasawuf dan ritual peribadatan terhadap penurunan gangguan. Hal-hal semacam ini yang dipelajari dalam program studi Tasawuf dan Psikoterapi.
Sebagai program studi, Tasawuf dan Psikoterapi sering menghadapi pertanyaan, “Lulus dari Tasawuf dan Psikoterapi mau jadi apa?”. Hal ini diakibatkan karena Tasawuf dan Psikoterapi bukan termasuk ke dalam program studi yang populer di Indonesia. Di sisi lain, tidak setiap masyarakat Indonesia memahami arti dan makna term “tasawuf” dan “psikoterapi”, sehingga banyak masyarakat Indonesia yang kurang optimis akibat ketiadaan gambaran terhadap Tasawuf dan Psikoterapi. Lalu, sebenarnya apa saja prospek kerja dari lulusan Tasawuf dan Psikoterapi? Secara garis besar, lulusan dari Tasawuf dan Psikoterapi dapat berkarya di bidang kesehatan atau medis, pendidikan, dan penelitian. Saya akan mencoba menjelaskan sedikit dari prospek kerja dari lulusan Tasawuf dan Psikoterapi.
1. Pembimbing kerohanian
Pembimbing kerohanian merupakan profesi di rumah sakit yang bertugas untuk memberikan bimbingan kerohanian kepada pasien. Apabila merunut ke belakang, pembimbing kerohanian ini merupakan latar belakang almarhum Dr. H. Muhammad Nursamad Kamba, M.A. mendirikan program studi Tasawuf dan Psikoterapi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan kemudian mendorong PTKI lain untuk mendirikan program studi tersebut. Hal ini disampaikan oleh Fatin Hamama, istri almarhum Dr. H. Muhammad Nursamad Kamba, M.A., pada acara seminar di sela-sela Pengukuhan dan Rapat Kerja Nasional Konsorsium Tasawuf dan Psikoterapi Indonesia di Garut pada 4 – 6 Desember 2023.
Di masa lalu, Fatin Hamama sering mengalami berbagai jenis sakit yang membuatnya sering menjalani rawat inap di rumah sakit. Pada suatu hari di suatu rumah sakit, pembimbing kerohanian yang bertugas untuk membimbing Fatin mengatakan bahwa sakit adalah cobaan dari Allah swt. untuk mengangkat dan menghapus dosa manusia, sehingga manusia harus sabar ketika diberikan sakit. Berulang kali pembimbing kerohanian menyampaikan hal tersebut, sehingga membuat Fatin Hamama justru merasa tidak tenang. Fatin Hamama merasa dirinya menjadi manusia yang sangat berdosa ketika memperoleh sakit. Selain itu, kata-kata yang disampaikan oleh pembimbing kerohanian tersebut rentan memunculkan persepsi bahwa Tuhan sebegitu pembalas dendam sehingga setiap dosa harus dibalas dengan sakit. Perasaan inferior dan terintimidasi pun muncul. Padahal, orang yang sakit hendaknya memperoleh perasaan yang nyaman, aman, dan tenang sebagai penunjang menuju kesehatan.
Menurut Nursamad Kamba dan Fatin Hamama, pembimbing kerohanian seharusnya memunculkan perasaan-perasaan positif pada pasien. Dalam konteks kerohanian, pembimbing kerohanian seharusnya memberikan penjelasan kepada pasien bahwa setiap orang yang sakit adalah ujian dari Tuhan agar manusia lebih dekat kepada Tuhan, bukan cobaan dan balasan dari setiap dosa yang dimiliki manusia. Bahkan, dalam ayat Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika manusia sakit, maka Allah swt. yang akan menyembuhkan. Ini artinya, terdapat tanda cinta dari Allah swt. di saat manusia sakit. Berangkat dari pengalaman dan asumsi tersebut, maka Nursamad Kamba menganggap perlunya penguasaan konsep tasawuf (yang di dalamnya terdapat konsep mahabbah dan muraqabah) pada pembimbing kerohanian. Dengan demikian, tasawuf dibumikan untuk menunjang kesehatan manusia.
Pengalaman yang diperoleh Nursamad Kamba dan Fatin Hamama tersebut juga sering saya temui ketika saya mendampingi Ayah atau Ibu menjalani rawat inap di rumah sakit. Sebagai orang yang mendampingi saja, saya sangat merasakan perasaan tidak nyaman yang dialami oleh Nursamad Kamba dan Fatin Hamama, terlebih lagi pasien. Di sisi lain, pembimbing kerohanian sering kali terjebak pada sempitnya pemahaman tentang kerohanian sehingga pembimbing kerohanian hanya sebatas memberikan bimbingan tentang cara orang sakit menjalani ritual peribadatan, misalkan salatnya orang sakit dan zikirnya orang sakit. Selain itu, pembimbing kerohanian juga terkesan menggurui ketika meminta pasien bersabar, tanpa memberikan bimbingan tentang cara dan langkah untuk sabar. Sebagian besar pembimbing kerohanian juga membatasi target kerjanya hanya kepada pasien. Padahal, keluarga pasien juga membutuhkan dukungan psikologis.
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa cara kerja pembimbing kerohanian perlu direformulasi. Pembimbing kerohanian seharusnya dapat membangun kualitas spiritualitas pasien menjadi lebih baik. Selain itu, pembimbing kerohanian juga perlu menciptakan hubungan yang setara dengan pasien serta memberikan konseling dan psikoterapi singkat kepada pasien. Sehingga, pembimbing kerohanian tidak perlu menyuruh pasien untuk sabar, kuat, ikhlas, dan tabah, tetapi pembimbing kerohanian cukup meminta pasien untuk melakukan langkah-langkah tertentu yang berakhir pada munculnya sikap tersebut. Pembimbing kerohanian juga diharapkan dapat memberikan terapi singkat untuk memunculkan perasaan rileks dan nyaman, baik pada pasien maupun keluarga pasien.
Berdasarkan berbagai pengalaman tersebut, saya sependapat dengan Nursamad Kamba bahwa pembimbing kerohanian merupakan salah satu prospek kerja dari lulusan Tasawuf dan Psikoterapi. Lulusan Tasawuf dan Psikoterapi diharapkan memiliki keunggulan beberapa hal ketika menjadi pembimbing kerohanian. Seperti yang disampaikan oleh Nursamad Kamba, pembimbing kerohanian yang memahami konsep tasawuf akan menggunakan konsep tasawuf yang bermuatan positif untuk menumbuhkan optimisme dan perasaan nyaman pada pasien. Sehingga, sakitnya seseorang justru menyebabkan seseorang semakin dekat dan yakin kepada Allah swt., bukan semakin menjauh dan menghakimi Allah swt. Selain itu, pembelajaran tentang jenis-jenis konseling dan psikoterapi yang didapatkan oleh lulusan Tasawuf dan Psikoterapi diharapkan dapat dipraktikkan ketika menjadi pembimbing kerohanian dengan memberikan konseling dan psikoterapi singkat, baik kepada pasien maupun keluarga pasien. Konseling dan psikoterapi singkat ini diharapkan membantu pasien memunculkan sikap-sikap positif yang diharapkan. Selain itu, juga menciptakan perasaan yang nyaman. Kondisi psikologis yang positif akan berdampak pada munculnya hormon-hormon yang mendukung kesembuhan. Di sisi lain, target kerja pembimbing kerohanian juga bisa menyasar keluarga yang mendampingi pasien. Hal ini disebabkan para pendamping pasien juga membutuhkan kekuatan psikologis dan spiritual selama mendampingi pasien, baik di rumah sakit maupun ketika perawatan pasca rawat inap di rumah. Lulusan Tasawuf dan Psikoterapi yang memperoleh pembelajaran dari bidang tasawuf, psikologis, dan medis diharapkan mampu memberikan penanganan komplementer yang bersifat biopsikososialspiritual.
Pembimbing kerohanian ini pun bisa tidak hanya dalam konteks rumah sakit, namun dalam konteks yang lebih luas. Misalkan, pembimbing kerohanian dalam konteks masyarakat bisa berbentuk penyuluh keagamaan. Selain itu, beberapa perusahaan yang menekankan pentingnya aspek spiritual juga menjadi peluang bagi lulusan Tasawuf dan Psikoterapi untuk menjadi pembimbing kerohanian dalam konteks bisnis.
2. Asisten terapis sufistik
Prospek kerja berikutnya dari lulusan Tasawuf dan Psikoterapi adalah asisten terapis sufistik. Asisten terapis sufistik bertugas mendampingi jalannya terapi sufistik yang dilakukan oleh terapis. Sebagai asisten terapis sufistik, lulusan Tasawuf dan Psikoterapi dibekali pengetahuan dari berbagai bidang, misalkan bidang medis tentang kesehatan dasar; bidang psikologi; dan tentu saja bidang tasawuf sebagai ciri khasnya. Pengetahuan ini penting untuk menunjang kelancaran proses pemberian terapi sufistik yang dilakukan oleh terapis, mulai dari diagnosis, analisis, sampai dengan intervensi atau pemberian terapi.
Muncul pertanyaan selanjutnya, terapi sufistik itu bentuknya apa saja dan apakah sudah ada orang yang membuka praktik tersebut? Sebagai praktik yang dioperasionalisasikan dari konsep tasawuf yang luas, terapi sufistik ini memiliki banyak bentuknya. Sebagian pendapat membagi praktik terapi sufistik menjadi dua jenis. Pertama, praktik terapi sufistik yang tidak dapat dipelajari secara sistematis sehingga kemampuan melakukan terapi sufistik ini berasal dari kualitas spiritual dan religiositas seseorang. Dalam konteks tasawuf, kemampuan ini bersifat hudhuri dan ilhami. Praktik ini pada dasarnya banyak dilakukan oleh para kiai atau pimpinan pesantren. Selain itu, jenis kedua ini biasanya dipraktikkan secara murni tanpa adanya integrasi dengan praktik dari keilmuan lain. Kedua, praktik terapi sufistik yang dapat dipelajari secara sistematis, bahkan dapat diteliti tentang hubungan sebab dan akibatnya terhadap berbagai jenis gangguan. Jenis terapi sufistik yang kedua ini yang menjadi target program studi Tasawuf dan Psikoterapi. Praktik terapi sufistik jenis kedua ini biasanya diintegrasikan dengan keilmuan lain untuk membantu pembumian konsep tasawuf. Misalkan, mengintegrasikan terapi sufistik dengan praktik-praktik psikologi (misalkan, seperti yang dikonsepkan oleh Prof. Dr. KH. Syamsul Bakri, M.Ag. dan Ahmad Saifuddin dalam bukunya yang berjudul “Sufi Healing Integrasi Tasawuf dan Psikologi Dalam Penyembuhan Psikis dan Fisik”); mengintegrasikan terapi sufistik dengan praktik kedokteran Timur (misalkan, seperti yang dipraktikkan oleh Mustamir, S.Ked., salah seorang praktisi terapi sufistik).
Mengenai jumlah orang yang membuka praktik tersebut, perlu adanya pendataan secara akurat. Pendataan yang akurat diperlukan karena tidak setiap orang yang membuka praktik kesehatan tradisional menyertakan nilai-nilai dan praktik tasawuf. Terlebih lagi, dalam implementasinya, tasawuf sering diintegrasikan dengan konsep lain yang relevan dan selaras sehingga tasawuf menjadi kurang terlihat.
Adanya mata kuliah-mata kuliah tentang terapi, juga memungkinkan lulusan Tasawuf dan Psikoterapi menjadi asisten terapi terkait. Misalkan, mata kuliah Terapi Anak Berkebutuhan Khusus memungkinkan lulusan Tasawuf dan Psikoterapi menjadi asisten terapis ABK.
3. Terapis sufistik
Terapis sufistik adalah prospek kerja berikutnya dari lulusan Tasawuf dan Psikoterapi. Terapis sufistik ini membuka praktik penyembuhan dengan membumikan nilai-nilai tasawuf. Mengutip pendapat dari Mustamir, S.Ked. dalam bukunya yang berjudul “Kerangka Konsep Sufi Healing”, terapis sufistik berpijak pada prinsip penyembuhan dengan konsep dan nilai tasawuf, meliputi syariat, makrifat, dan haqiqat. Syariat merupakan metode lahiriah yang digunakan oleh terapis sufistik, misalkan zikir, salat, dan puasa yang dijadikan sebagai perantara atau metode terapi, sedangkan makrifat dan haqiqat menjadi tujuan dari terapi tersebut. Dengan kata lain, terapis sufistik membimbing seseorang untuk melaksanakan syariat dengan baik agar dapat memperoleh ketenangan dan kenikmatan dari pelaksanaan tersebut serta meningkatkan level nafs (haqiqat). Dalam kondisi tertentu, pelaksanaan syariat tersebut tidak selalu berdiri sendiri dan dapat diintegrasikan dengan praktik dari konsep lain. Misalkan, implementasi terapi zikir yang diintegrasikan dengan relaksasi atau hipnoterapi atau akupressure.
Sebagai praktisi profesional, terapis sufistik hendaknya dilandasi legalitas sebagai pengakuan bahwa seseorang memang layak menyandang terapis sufistik dan izin praktik. Untuk memperoleh kedua, dapat dilaksanakan dengan berbagai mekanisme. Pertama, legalitas sebagai terapis sufistik secara langsung belum dapat dilaksanakan. Hal ini mengingat belum ada organisasi profesi resmi yang menjadi wadah bagi terapis sufistik serta bertindak sebagai otoritas tunggal untuk mengatur keprofesion terapis sufistik. Akan tetapi, jika berpijak pada terapis sufistik dapat diintegrasikan dengan praktik penyembuhan dari paradigma lain (misalkan, bekam, ruqyah, akupressure, dan hipnoterapi), maka mahasiswa maupun lulusan Tasawuf dan Psikoterapi dapat mengikuti pelatihan resmi yang diadakan oleh organisasi profesi dari praktik-praktik kesehatan tradisional dan Timur tersebut. Misalkan, mengikuti pelatihan bekam yang diadakan oleh organisasi profesi bekam; pelatihan hipnoterapi yang diadakan oleh lembaga atau organisasi hipnoterapis; dan sejenisnya. Hasil dari pelatihan ini adalah keterampilan dan sertifikat sebagai bukti bahwa seseorang mengikuti pelatihan tersebut dan dianggap layak oleh organisasi profesi-organisasi profesi tersebut. Catatannya adalah pelatihan-pelatihan tersebut hendaknya diadakan oleh organisasi profesi yang resmi agar penilaian kelayakan dilakukan oleh organisasi profesi tersebut yang memiliki kriteria kelayakan yang jelas. Setelah mahasiswa maupun lulusan Tasawuf dan Psikoterapi mengikuti berbagai macam pelatihan tersebut dan memiliki sertifikat, maka sertifikat tersebut dapat menjadi bukti pendukung untuk membuka praktik dengan cara mengintegrasikan berbagai macam teknik penyembuhan tersebut dengan konsep tasawuf. Adapun peluang izin praktik ini adalah dalam bentuk Surat Terdaftar Penyehat Tradisional. Izin praktik ini dapat diurus melalui Kementerian Kesehatan.
Skema kedua dan yang sedang diupayakan adalah kelayakan sebagai terapis sufistik ini dikeluarkan oleh organisasi profesi terapis sufistik dalam konteks pendidikan profesi. Berdasarkan hasil rapat kerja nasional Konsorsium Tasawuf dan Psikoterapi Indonesia, bentuk pendidikan program studi Tasawuf dan Psikoterapi akan diarahkan ke pendidikan profesi (https://tp.uinsaid.id/2023/12/05/uin-raden-mas-said-surakarta-usulkan-bentuk-kurikulum-sistem-pendidikan-izin-profesi-serta-kode-etik-profesi-tasawuf-dan-psikoterapi-di-rakernas-kotaterapi/). Secara singkat, pendidikan profesi ini memungkinkan mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi memperoleh gelar kesarjanaannya sebagai produk dari pendidikan kesarjanaannya serta mendapatkan julukan profesi sebagai produk dari pendidikan keprofesiannya (terkait apakah pendidikan profesi ini satu paket – pendidikan kesarjanaan sekaligus pendidikan keprofesian – atau dilaksanakan secara terpisah, masih memerlukan pembahasan lebih lanjut). Dalam pendidikan keprofesian tersebut, seseorang diberikan pembelajaran tentang bentuk-bentuk terapi sufistik dan diminta untuk melakukan praktik sebagai pembelajaran di bawah pengawasan ahli, misalkan dosen dan terapis sufistik. Praktik tersebut dimulai dari identifikasi gangguan, diagnosis, analisis, sampai dengan pemilihan dan pelaksanaan intervensi atau treatment dalam bentuk terapi sufistik. Hasil dari praktik tersebut kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan dan diujikan oleh organisasi profesi. Berdasarkan hasil ujian keprofesian tersebut, maka organisasi profesi memberikan penilaian kelayakan terhadap seseorang untuk menyandang julukan sebagai terapis sufistik. Jika memiliki surat kelayakan tersebut, maka diharapkan bisa menjadi penunjang untuk memperoleh Surat Tanda Penyehat Tradisional (STPT) untuk membuka praktik.
Dalam konteks kesehatan secara luas, lulusan Tasawuf dan Psikoterapi memiliki peluang ketika menilik UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Pada UU tersebut Bab V pasal 22 disebutkan tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan poin w adalah Pelayanan Kesehatan Tradisional, kemudian lebih spesifik pada pasal 160-164 serta pasal 199. Pelayanan kesehatan semacam ini yang bisa menjadi arah bagi lulusan Tasawuf dan Psikoterapi. Hal ini mengingat praktik terapi sufistik bisa diintegrasikan dengan praktik dari paradigma lain.
4. Guru akhlak dan tasawuf
Prospek kerja berikutnya bagi lulusan Tasawuf dan Psikoterapi adalah guru dalam bidang akhlak dan tasawuf. Secara kurikulum, pada dasarnya program studi Tasawuf dan Psikoterapi tidak menyediakan mata kuliah yang mendukung keterampilan pedagogi dan andragogi. Sehingga, profesi guru akhlak dan tasawuf ini bisa secara absah disandang oleh alumni Tasawuf dan Psikoterapi melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Meskipun demikian, pada praktiknya alumni Tasawuf dan Psikoterapi bisa langsung menjadi guru sebelum memperoleh PPG, tergantung dari kebijakan sekolah.
5. Motivator spiritual
Motivator spiritual adalah profesi yang berwujud memberikan motivasi dalam konteks spiritual. Motivator spiritual membutuhkan kreatifitas dalam mengkreasi bentuk pelatihan yang terintegrasi dengan konsep keagamaan. Dalam konteks lulusan Tasawuf dan Psikoterapi, lulusan tersebut dapat menjadi motivator spiritual dengan membumikan konsep-konsep tasawuf untuk menumbuhkan harapan dan perasaan positif pada seseorang. Misalkan, membumikan nilai tawakal, zuhud, qana’ah, dan taubat guna menumbuhkan motivasi dalam hidup seseorang.
6. Ilmuwan dan peneliti di bidang tasawuf dan psikoterapi
Beberapa tahun terakhir, bersamaan dengan semangat islamisasi pengetahuan, penelitian di bidang tasawuf semakin berkembang. Terutama, penelitian tentang keterkaitan konsep tasawuf dengan psikoterapi, baik penelitian secara konseptual maupun penelitian lapangan. Lulusan Tasawuf dan Psikoterapi yang dibekali pengetahuan tentang konsep tasawuf, psikoterapi, dan metode penelitian, dapat mengarahkan dirinya sebagai peneliti di bidang tasawuf dan psikoterapi. Penelitian ini berperan penting sebagai dasar empiris tentang efektivitas terapis sufistik terhadap kesembuhan seseorang dari berbagai jenis gangguan.
7. Peramu herbal
Dalam kurikulum Tasawuf dan Psikoterapi, terdapat mata kuliah Herbalogi dan Budidaya Tanaman Obat. Mata kuliah ini bisa menjadi bekal bagi lulusan Tasawuf dan Psikoterapi untuk berprofesi sebagai peramu herbal. Meskipun demikian, mengingat bobot mata kuliah yang diberikan tersebut tidak terlalu besar, maka lulusan Tasawuf dan Psikoterapi dapat mengasah keterampilannya dalam dunia obat herbal dengan berbagai macam pelatihan yang relevan serta memperoleh pengakuan akan kelayakan. Seperti halnya praktisi kesehatan tradisional, praktik dari peramuan herbal ini di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta pemerintah.
Demikian penjelasan tentang prospek kerja dan profil lulusan Tasawuf dan Psikoterapi. Meskipun demikian, setiap program studi Tasawuf dan Psikoterapi di setiap perguruan tinggi bisa memiliki profil lulusan yang berbeda-beda, tergantung ciri khas dan keunikan yang telah dirumuskan oleh masing-masing perguruan tinggi dan penekanan kurikulum.