Oleh: Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.
Abū Bakr ibn Abī Isḥāq Muḥammad ibn Ibrāhīm ibn Ya‘qūb al-Bukhārī al-Kalābāżī, sebagaimana yang ditunjukkan dalam namanya, berasal dari distrik Kalābāż, Bukhārā, yang berada di wilayah Uzbekistan sekarang. Seorang faqīh Ḥanafī, murid dari Muḥammad Ibn Faḍl (w. 319/931). Sebagai seorang sufi, al-Kalābāżī adalah murid dari sufi saat itu yang bernama Fāris ibn Īsā (w. 340/951), sahabat karib dari seorang sufi falsafi yang masyhur, Abū Maṣur al-Ḥallāj (w. 309/922). Menurut Nicholson yang juga disepakati oleh John Renard, al-Kalābāżī masih kecil saat al-Ḥallaj digantung oleh Istana. Dalam konteks ini pula, masa hidup al-Kalābāżī dikelilingin oleh pro-kontra yang cukup keras terhadap tasawuf dan praktik para sufi. al-Kalābāżī wafat pada 385/995.
Al-Kalābāżī sangat dikenal lantaran karyanya yang berjudul Kitab Penjelasan tentang Ajaran-Ajaran Kaum Sufi (Kitāb al-Ta‘arruf li Mażhab Ahl al-Taṣawwuf) -selanjutnya disebut Ta‘arruf-. Dalam pengantar Ta‘arruf al-Kalābāżī menyatakan bahwa tujuan dari buku ringkas berbahasa Arab ini adalah untuk membela kaum sufi dari kecaman para pembencinya yang seringkali melihat tasawuf secara negatif. Meski demikian, sebagaimana yang dia sampaikan, kitab ini juga ditujukan untuk meluruskan praktik-praktif sufi yang sudah jauh melenceng dari ajaran al-Qur’ān, Sunnah, dan Salaf al-Ṣāliḥ.
Untuk menguatkan argumentasinya, al-Kalābāżī mennjelajah poin demi poin keyakinan muslim awal (salaf), yang dikenal saat itu dengan istilah Fiqh Akbar, memperlihatkan dalam setiap contoh bagaimana kaum sufi memilah-milah dengan cermat ajaran mereka agar tidak terlepas dari kelindan ajaran Islam, Jauh dari bid‘ah, tegasnya, sesungguhnya kaum sufi merupakan model yang sangat ideal dengan keyakinan yang ketat dalam doktrin teologinya.
Buku ini berisi tujuhpuluh lima pasal ringkas yang disusun dalam lima bagian utama; pertama, Muqaddimah (bab 1-4) berisi pengenalan, arti dan asal-usul tasawuf, nama tokoh besar Sufi; Kedua, doktrin teologis para sufi (bab 5-30) yang berisi pernyataan-pernyataan ajaran Islam yang diterima dan dijelaskan oleh para Sufi. Al-Kalābāżī membuktikan bahwa tasawuf merupakan sistem yang masih berkelindan dalam edaran ortodoksi Islam; Ketiga, tema-tema utama dalam tasawuf (bab 31-51) yang berisi penjelasan para sufi tentang Aḥwāl Sufi, Khauf, Rajā’, Maḥabbah, dan tema-tema lainnya. Untuk menguatkan argumentasinya, al-Kalābāżī banyak mengutip karya, prosa, dan puisi para sufi otoritatif; Keempat, merupakan pembahasan terpenting dalam kitab ini karena berisi istilah-istilah teknis dalam tasawuf yang menjadi sumber kesalahpahaman (bab 52-63), seperti ungkapan pengalaman mistis dan persekutuan dengan Tuhan. Al-Kalābāżī menegaskan, pembahasan hanya menyangkut arti aktual dari istilah, karena pengalaman tidak mungkin ditulis dalam kata-kata. Istilah-istilah ‘aneh’ adalah bentuk pengalaman, bukan kata-kata bermakna harfiah. Tampaknya, al-Ghazālī di kemudian hari banyak terpengaruh oleh al-Kalābāżī dalam hal pengungkapan pengalaman tasawuf; Kelima, Penutup (bab 64-75), yang berisi uraian fenomena tasawuf, seperti karāmah dan wilāyah.
Sejak semula, Ta‘arruf tidak disusun secara sistematis-akademik, dengan demikian, secara epistemologis kurang sistematis ketimbang karya Sarrāj, misalnya. Al-Kalābāżī lebih tertarik pada penyediaan pandangan yang lebih luas atas doktrin-doktrin sufi. Sekalipun katalognya atas apa yang para penulis lain sebut sebagai stasiun-stasiun (maqām) dan keadaan-keadaan (ḥāl) tampak lebih maju, dia tidak mengaitkan pengetahuan secara ekplisit pada pertumbuhan tersebut. Suhrāwardī mengungkapkan pentingnya kitab ini dengan ungkapan, “kalau bukan karena kitab al-Ta‘arruf, kita tidak akan mengenal Tasawuf”. Ia setara dengan Risālah Qusyairiyah dan Qūṭ al-Qulūb karya Abū Ṭalib al-Makkī. Bahkan lebih diminati karena ringkas dan sederhana, menunjukkan tasawuf adalah hal yang esensil dalam pilar Islam. Saat itu, tasawuf, khususnya setelah digantungnya al-Ḥallāj menjadi negatif. Al-Kalābāżī ingin membersihkannya kembali, dan membuktikan bahwa ajaran tasawuf sesuai dengan doktrin salaf. Buku ini menjadi pembuka bagi jalan al-Ghazali dalam menjelaskan konsep tasawufnya. Sehingga tak aneh bila banyak argumentasi al-Ghazālī yang serupa dengan analisa al-Kalābāżī