(Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil. — Dosen Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta)
Dalam sejarah pemikiran Islam, Abū Hāmid al-Ghazālī adalah sosok yang mustahil dilewatkan. Ia bukan hanya seorang ulama besar, tapi juga filsuf, sufi, dan penggugah nurani umat di tengah tarik menarik antara tradisi, akal, dan spiritual dalam praktik kehidupan Muslim. Lahir tahun 1056 di kota Ṭūs, Iran, al-Ghazālī tumbuh di tengah kemelut zaman yang menantang keyakinan dasar Islam. Ia hidup di masa ketika ajaran filsafat Yunani semakin mengguncang fondasi teologis umat, dan saat kaum Ismā’īlī mempropagandakan tafsir bāṭiniyyah terhadap agama. Di tengah semua itu, al-Ghazālī menjadi jembatan yang memadukan akal dan wahyu, tradisi dan pembaruan.
Setelah menempuh pendidikan tinggi di bawah bimbingan ulama terkemuka al-Juwaynī, al-Ghazālī sempat menjadi ulama kesayangan istana dan dunia akademik. Diangkat sebagai guru besar di madrasah Niẓāmiyyah Baghdad, ia menikmati puncak karier intelektualnya. Namun, batinnya gelisah. Ia menyadari adanya ketimpangan antara ajaran agama yang luhur dan kenyataan politik yang korup. Pada tahun 1095, ia mundur dari jabatan, meninggalkan gemerlap Baghdad, dan menapaki jalan spiritual sufi—mengembara ke Damaskus, Yerusalem, bahkan menunaikan haji.
Salah satu karya al-Ghazālī yang monumental adalah Tahāfut al-Falāsifah (Ketidakkonsistenan/kerancuan Para Filsuf), yang mengkritik keras para pemikir seperti Ibn Sīnā. Namun al-Ghazālī tidak serta-merta menolak filsafat. Ia justru menguasainya terlebih dahulu dengan mendalam sebelum melancarkan kritik. Ia menyusun karya Maqāṣid al-Falāsifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf) untuk menjelaskan dengan jujur ajaran para filsuf sebelum menganalisis lalu membantahnya satu per satu. Yang ia tolak bukanlah rasionalitas itu sendiri, melainkan klaim para filsuf bahwa akal sepenuhnya cukup untuk memahami Tuhan dan realitas. Menurut al-Ghazālī, tidak ada satu pun argumen filosofis yang bisa secara mutlak membuktikan ajaran-ajaran tertentu, seperti kekekalan dunia atau bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal. Baginya, akal dan wahyu tidak bisa saling menegasikan. Keduanya harus saling melengkapi.
Selain filsafat, al-Ghazālī juga menghadapi tantangan dari kelompok Ismā’īlī yang memaknai agama secara bāṭiniyyah dan menolak pendekatan rasional terhadap wahyu. Dalam karyanya Faḍā’iḥ al-Bāṭiniyyah (Skandal Kaum Bāṭiniyyah/Esoterik), ia membongkar kelemahan argumen mereka dan menunjukkan bahayanya jika umat Islam kehilangan kompas syariat. Bagi al-Ghazālī, otoritas keagamaan tidak bisa dilepas dari wahyu dan akal yang ṣaḥīh. Namun puncak pemikiran dan pengaruh al-Ghazālī bukanlah dalam polemiknya terhadap filsuf atau kelompok tertentu, melainkan dalam karya besarnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama). Buku bukan hanya kitab tasawuf, tapi juga panduan hidup Islami yang menyentuh semua aspek kehidupan: ibadah, akhlak, mu‘amalah, hingga psikologi.
Al-Ghazālī menolak etika formalistis yang hanya berpusat pada hukum (fiqh/syari‘ah). Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa yang penting bukan hanya mengikuti aturan, tapi mengembangkan karakter luhur yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia memadukan ajaran moral Sufi dengan pemikiran etika para filsuf seperti Aristoteles dan Ibn Sīnā, lalu menyajikannya dalam bahasa agama yang akrab dengan umat.
Di bidang kosmologi, al-Ghazālī menawarkan pandangan yang unik. Ia menolak bahwa sebab-akibat berjalan dengan sendirinya. Bagi al-Ghazālī, Tuhanlah yang secara langsung mengatur semua sebab dan akibat. Alam ini ibarat jam air yang rumit—dibuat, diatur, dan dijalankan oleh Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya. Tak ada yang terjadi tanpa izin-Nya, bahkan gerak hati manusia.
Pemikiran al-Ghazālī bukan hanya membentuk teologi Islam klasik, tapi juga memengaruhi pemikiran Yahudi dan Kristen di abad pertengahan. Di dunia Muslim, ia menjadi simbol harmoni antara akal dan wahyu, antara logika dan rasa. Warisannya masih terus hidup dalam diskusi filsafat, fiqh, dan tasawuf hingga hari ini.
Di zaman modern yang sering kali membenturkan antara sains dan agama, antara rasio dan iman, sosok seperti al-Ghazālī menjadi cermin bijak yang mengingatkan kita bahwa kebenaran tidaklah tunggal jalannya. Ia bisa ditemukan dalam perenungan, dalam nalar, dan dalam sujud yang khusyuk. Ya! kelindah yang harmonis antara Īmān, Islām, dan Iḥsān.
#PhiloSufi
(Foto: https://arrahim.id)