Oleh: Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.

Mahasiswa yang hebat bukan mereka yang membangga-banggakan kampusnya, mahasiswa yang hebat adalah mereka yang berprestasi dan membanggakan kampusnya.
#PhiloSufi

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah (dan beribadah dengan penuh ketulusan, kekhusyukan, dan tawakal). Dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan (dalam segala urusan dan keadaan kami, sambil kami berusaha keras)” Q.S. Al-Fātiḥah 1:5

Dalam Islam, hidup sejatinya adalah proses berkelanjutan sampai tujuan akhir, yakni kebahagiaan di akhirat. Maka, agar tidak salah jalan, sebagai muslim kita wajib memiliki worldview (cara pandang) yang jelas dan tegas. Agar motivasi, proses, dan tujuan dalam menjalani hidup juga jelas dalam panduan Islam. Kuliah, belajar, adalah salah satu dari sekian banyak proses kehidupan. Kuliah bukan satu-satunya proses yang dijalankan. Ia ‘hanyalah’ latihan dan pembekalan untuk melanjutkan proses kehidupan berikutnya. Bisa jadi banyak hal ‘ideal’ ditemui saat perkuliahan; sistem yang teratur, jadwal yang tertata, proses belajar dan ujian yang selalu sesuai rencana. Namun, keberaturan tersebut bisa jadi akan sulit didapatkan saat terjun langsung dalam bermasyarakat. Maka, bekal ‘idealisme’ dan keberaturan saat proses perkuliahan harus dijadikan pijakan untuk ‘membangun’ keberaturan pada proses kehidupan selanjutnya. Kuliah adalah proses, bukan tujuan. Perkuliahan adalah peta miniatur kehidupan, sedangkan kehidupan yang sebenarnya adalah proses setelah lulus perkuliahan.

Ayat ke-5 dalam surat al-Fātiḥah telah ditegaskan, bahwa hanya kepada Tuhan kita beribadah, dan kepadaNya pula kita memohon pertolongan. Ayat ini sangat baik untuk menjadi renungan bagi yang hendak terjun ke masyarakat setelah kelulusan. Bahwa apapun yang kita lalukan nantinya, pekerjaan apapun yang kita geluti selanjutnya, jangan sampai terlepas dari filosofi ibadah. Semua gerak gerik, tindakan, ikhtiar, wajib bermotivasikan ibadah. Lalu, apakah dengan demikian, kerja kita yang bernilai ibadah itu harus gratisan atau tidak perlu memikirkan upah dan gajian? tentu tidak demikian. Bekerja yang diniati ibadah, lalu melahirkan jiwa ikhlas bukan berarti ‘gratisan’. Bukankah banyak yang gratisan tapi memiliki motivasi dan pamrih beragam? Ikhlas adalah melakukan kebaikan dengan profesional yang dilandasi ibadah. Sehingga gaji dan upah yang didapatkan tidak semata berupa bayaran, tapi ada nilai ibadah dan pengabdian.

Apa yang dicari kemudian dalam proses berkelanjutan ini? bisa dipastikan banyak yang dengan yakin berujar “untuk bahagia”; agar hidup nyaman dan bahagia. Namun, apa itu bahagia, kenapa harus bahagia, dan bagaimana untuk meraihnya? Ini titik krusialnya. Karena banyak yang ingin bahagia, tapi tidak tahu apa sejatinya bahagia, kenapa dan bagaimana untuk mendapatkannya. Kesalahan dalam mendefinisikan akan melahirkan kebahagiaan semu dan palsu. Islam telah mengajarkan fase-fase dalam meraih kebahagiaan. Pertama, bahagia seringkali disalahartikan dengan ‘kenikmatan’, pleasure. Misal, makan dan minum enak, tidur nyenyak, rumah nyaman. ‘Bahagia’ jenis ini tentu nikmat, namun ia temporal dan sangat singkat. Kenikmatan makan hanya terasa saat makan, beberapa menit setelahnya kita sudah tidak menikmatinya. Enaknya tidur juga hanya saat tidur, setelah bangun sudah sirna. Kita harus mengejar bahagia model ini, tapi jangan jadikan tujuan utama. Ia hanya fase awal dari bahagia.

Kedua adalah achievement, pencapaian. Kalau pleasure sangat singkat durasinya. Pencapaian punya masa yang agak lama, tapi ia juga sementara, temporal. Lulus kuliah misalnya, akan terasa nikmat, khususnya saat wisuda. Namun setelah seminggu, sebulan, atau setahun, semua itu akan sirna dan berganti dengan tuntutan-tuntutan kehidupan berikutnya; sudah kerja? sudah nikah? sudah punya rumah? dan pertanyaan-pertanyaan ‘menyebalkan’ lainnya.

Ketiga adalah contribution, peranan. Kebahagiaan yang muncul karena peran kita dalam kebahagiaan yang lain, lebih lama durasinya dari sebatas pencapaian pribadi semata. Saat bekerja, upaya dan usaha kita ternyata membuahkan kesuksesan besar perusahaan misalnya, atau kesuksesan sejawat, rasa bahagia akan lebih lama. Namun, hal inipun tidak bertahan lama, apalagi bila ternyata usaha kita tersebut tidak mendapatkan balasan sesuai harapan. Justru yang awalnya bahagia akan berganti dengan sesal dan derita. Untuk itu Islam mengajarkan kita posisi tertinggi.

Keempat; greater good, atau dalam bahasa agamanya, ikhlāṣ. Dengan keikhlasan -diawali dengan tiga model kenikmatan sebelumnya- segala upaya dan usaha akan kekal dan abadi. Karena motivasi kita tidak lagi pribadi, bukan lagi sebatas pencapaian diri, tidak pula pencapaian golongan dan kelompok, tapi semata untuk ibadah, untuk Allāh.

Dengan demikian, mari kita upayakan, segala kemampuan yang diperoleh selama perkuliahan selalu diasah dan kembangkan. Karena hidup selalu berlanjut, bukan hanya untuk pribadi, kelompok dan golongan, tapi untuk the greater good, untuk ‘ibādah lillāh. Mari jadikan setiap gerak ‘duniawi’ bernilai ukhrawi dengan memulai setiap gerak kita dengan basmalah, selalu menyertakan Allāh, dan menjadikan Ibadah sebagai motivasi utama dalam menjalani kehidupan. Selamat terjun mengabdi di masyarakat, dan jangan lupa bahagia!

Wallāhu A‘lam

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *