Oleh: Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.

Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) merupakan ulama penuh kontroversi abad pertengahan yang paling sering disebut; baik dalam mimbar ilmiah maupun dakwah. Menurut Berkey, kajian di Barat tentangnya, saat ini, menduduki posisi teratas, di atas al-Ghazali pada posisi kedua, yang hanya separuh dari jumlah kajian tentang Ibn Taimiyyah. Beragam pandangan dan penilaian disematkan atasnya; radikalis, tradisionalis, mutakallim, Ṣufi, anti-Ṣufi, faqih, liberal, feminis, muḥaddiṡ, mufassir, dan lainnya. Figur yang disepakati memiliki keluasan pengetahuan dan kedalaman ilmu, toleran, rendah hati, namun juga pemarah dan keras.

Kehidupan Masa Kecil dan Muda
Sejak kecil diajak mengungsi dari tanah lahirnya untuk menghindari invasi penjajah Mongol. Hidup dalam keadaan politik yang tak tentu, lemahnya integritas penguasa, ditambah dengan merebaknya sektarianisme dan munculnya praktik-praktik ibadah yang terpengaruh oleh banyak budaya, membuat Ibn Taimiyyah kecil menyaksikan banyak konflik; agama dan politik.

Fakta ini yang membuatnya prihatin dan kemudian membawanya untuk turut jihad berjuang terjun ke medan perang melawan penjajah Mongol. Ia juga menghadapi banyak pertanyaan masyarakat yang resah dengan kondisi saat itu, sehingga banyak menulis fatwa dan tulisan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Tak jarang, fatwanya berseberangan dengan ulama istana yang membawanya berkali-kali keluar masuk penjara.

Ibn Taimiyyah, saat remaja juga berinteraksi langsung dengan para Sufi di zamannya. Dia mengatakan sendiri dalam tulisan-tulisannya bahwa pernah menghadiri ritual para Sufi. Meskipun, bila ada amalan yang dianggapnya bid‘ah, ia menepi tidak mengikutinya. Tapi ia tetap hadir di sana. Karenanya, saat mengkritik tasawuf, ia paham betul tema yang dibahasnya; di samping referensi yang kaya dan dari sumber utama, ia juga berinteraksi langsung dengan para penganut tasawuf zamannya.

Ibn Taimiyyah yang bermażhab Ḥanbali, adalah golongan minoritas dibandingkan penganut Asy’ariyah yang menjadi mażhab mayoritas saat itu. Di samping Asy’ariyah, kelompok-kelompok Sufi juga sangat dominan, sehingga tak heran bila kritik pedasnya atas tasawuf mendapat perlawanan yang massif dan sengit.

Perdebatannya dengan para Sufi istana juga menjadi salah satu sebab pengadilan atas dirinya yang berujung pada penjara. Bahkan larangan untuk menulis dan berfatwa dalam waktu yang lama. Ḥanabilah, dalam menyikapi tasawuf juga terbelah. Ada yang anti-Ṣufi, ada pula yang berafiliasi dengan tasawuf, ada yang melihat tasawuf telah banyak diselewengkan sehingga membangun konsep tasawufnya sendiri. Ibn Taimiyyah termasuk kelompok yang ketiga.

Membahas tasawuf, mengkritiknya, lalu membangun konsep alternatif atasnya, membuat Ibn Taimiyyah berinteraksi dengan banyak referensi teks-teks Ṣufi, tak kurang dari empat puluh teks Ṣufi yang ia gunakan untuk mengkritik dan membangun konsepnya. Ia juga tak terlepas dari komentar atas pemikiran-pemikiran para Ṣufi yang menjadi acuan dan panduan bertasawuf saat itu; dari yang sunni maupun falsafi. Mulai dari al-Qusyairi, al-Ghazali, dan ‘Abd al-Qadir al-Jilani dari tasawuf sunni, juga al-Bisṭami, al-Ḥallaj, dan Ibn ‘Arabi dari tasawuf falsafi tak lepas dari komentar dan kritiknya.

Epistemologi Ibn Taimiyyah
Dalam memberi komentar dan analisa, Ibn Taimiyyah menggunakan epistemologi yang juga ia terapkan dalam menganalisa tema-tema keislaman lainnya, yaitu, Al-Qur’an dan Sunnah. Landasan dari penilaiannya adalah kedua sumber utama ajaran Islam tersebut; ia akan menerima bila sesuai dengan esensi wahyu Ilahi, namun dengan keras dan tegas menolak bila bertentangan dengan keduanya.

Banyak peneliti yang salah faham atas sikap Ibn Taimiyyah kepada tasawuf, sehingga menggeneralisir sikapnya pada semua Sufi. Memang, ia mengkritik keras beberapa konsep tasawuf, khususnya tasawuf falsafi, tapi tak segan untuk memberi penghormatan atas pandangan-pandangan Sufi yang sesuai dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan salaf al-ṣālih.

Bahkan ia dengan terbuka memuji Ibn al-‘Arabi, juga al-Bisṭāmī, namun juga mengkritik keras konsep keduanya tentang ittiḥād, ḥulūl, dan waḥdah al-wujūd. Ibn Taimiyyah juga dengan terang-terangan mengutip al-Ghazāli, al-Kalābażī, al-Qusyairī, Abū Ṭalib al-Makkī, al-Junaid, dan al-Sulamī untuk menguatkan pandangan tasawufnya, bahkan ia mengomentari karya al-Jilani, Futuḥ al-Ghaib.

Konsep Tasawuf Ibn Taimiyyah
Saat mengutarakan konsep-konsep tasawufnya, Ibn Taimiyyah memulai dari akarnya, yaitu membahas definisi, sejarah, dan perkembangan tasawuf dari awal hingga masa hidupnya. Menurutnya, pemahaman yang benar akan membawa pada praktik yang benar, demikian sebaliknya. Setelah definisi, ia masuk pada pembahasan yang paling sering didiskusikan dalam tasawuf, yaitu maqāmāt dan aḥwāl. Ia membahas tema ini dalam beberapa tulisannya, bahkan menulisnya khusus dalam al-Tuḥfah al-‘Iraqiyyah fi al-A‘māl al-Qalbiyyah.

Ibn Taimiyah juga membahas konsep-konsep lainnya seperti fanā‘, kasyf dan ilhām, ḥulūl, ittiḥād, waḥdah al-wujūd, walī dan wilāyah, karāmah, tawassul dan wasīlah, żikr dan samā‘. Tak jarang ia membahasnya dalam tulisan yang panjang, meski kadang menulisnya dalam fatwa pendek, menyesuaikan konteks pembacanya (yang bertanya). Demikian, Ibn Taimiyyah dalam fatwa dan tulisannya, mengkritik tasawuf yang dianggapnya menyimpang, lalu memberikan tawaran utuh dan panduan lengkap bertasawuf yang syar‘ī (Qur’ānī). Konsep-konsep yang dibawanya memiliki corak yang berbeda dengan tasawuf sunni-akhlaqi, apalagi falsafi. Konsep ini oleh beberapa peneliti dinamakan dengan neo-sufisme, tasawuf syar‘i, juga tasawuf salafi.

Sufi atau Anti-Sufi?
Kajian tentang Ibn Taimiyyah dan tasawuf, meski sudah cukup banyak, tapi masih berputar pada; apakah ia Sufī, anti-Sufi. Belum pada ranah konsep konkret Ibn Taimiyyah tentang tasawuf. Buku Tasawuf Salafi ini hadir untuk menjelaskan konsep-konsep alternatif dalam tasawuf yang dibawa olehnya, yaitu tasawuf salafi. Besar harapan, kedepan ada kajian-kajian lanjutan yang membahas tasawuf dalam lingkungan Ḥanabilah selain Ibn Taimiyyah. Karena tasawuf yang muncul setelah abad kedua hijriyyah ini sudah dibahas oleh Aḥmad Ibn Ḥanbal, imam mażhab Ḥanbali. Ia menulis Kitāb al-Zuhd, dan Kitab al-Wara‘.

Ada Ibn al-Jauzi, yang meski keras terhadap tasawuf, dalam beberapa karyanya juga membahas tasawuf syar‘i, ia juga mengomentari (syar) magnum opusnya al-Ghazali, Iyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Ada juga al-Harawi al-Anṣari, seorang Ṣufi-Ḥanbali, penulis Manāzil al-Sā’irīn, yang membahas maqāmāt dan awāl dalam format yang berbeda dari para Sufi sebelumnya. Dan terakhir, ada Ibn al-Qayyim, murid kesayangan Ibn Taimiyyah, yang menurut Ovamir Anjum, paling fasih dalam menjelaskan ide-ide sufistik sang guru.

Ibn al-Qayyim mengomentari Manazilnya al-Anṣari dalam Madārij al-Sālikīn. Ia juga memberi komentar lengkap atas kumpulan doa dan zikr Ibn Taimiyyah, al-Kalim al-ayyib, dalam bukunya yang berjudul al-Wabil al-Ṣayyib ‘ala al-Kalim al-ayyib. Di samping itu, Ibn al-Qayyim juga menulis Kitāb al-Ru yang membahas seluk beluk Ruḥ, yang tentu saja banyak mengutip kata-kata gurunya, Ibn Taimiyyah.

Diskusi tentang Ibn Taimiyyah dan Tasawuf di atas, dibahas dalam buku Tasawuf Salafi: Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah. Buku ini juga membahas beberapa pandangan tasawuf dari para Ṣūfī Sunni dan Falsafi dan komentar serta kritik Ibn Taimiyyah atas pandangan mereka. Klik di sini !

Artikel ini juga dimuat di https://ibtimes.id/ibn-taimiyyah-anti-sufi-atau-sufi/

By admintp

Laman Resmi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *