Sukoharjo — Sabtu (10/7), dosen sekaligus sekretaris program studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog, menjadi narasumber pada acara seminar yang bertemakan “Peluang dan Tantangan Psikoterapi Islam”. Seminar tersebut diadakan atas kerja sama antara Ikatan Alumni Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta (IKAMAPSIPRO UMS) dengan Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dekan Fakultas Psikologi UMS (Taufik, Ph.D.) ketua program studi Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta (Dr. Lisnawati Ruhaena, M.Si., Psikolog), dan ketua IKAMAPSIPRO UMS (Zamroni, M.Psi., Psikolog) memberikan sambutan dan apresiasi terhadap seminar dengan tema yang sedang menjadi bahan diskusi di kajian psikologi dan psikoterapi Islam. Seminar tersebut diikuti oleh berbagai kalangan, baik kalangan psikologi maupun kalangan umum yang ingin belajar tentang psikoterapi Islam.
Sebagai narasumber, Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog ditemani oleh Dr. Bagus Riyono, M.A., Psikolog (President of International Association of Islamic Psychologist, Dosen UGM, Pakar Psikologi Islam). Saifuddin menyampaikan bahwa psikoterapi Islam sebagai salah satu teknik dan metode psikoterapi yang berkembang memiliki sejumlah peluang dan tantangan yang perlu untuk diperhatikan agar konsep dan implementasi psikoterapi Islam menjadi lebih mapan. Peluang tersebut adalah psikoterapi Islam berasal dari konsep keagamaan (Al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama) sehingga dianggap berasal dari konsep yang sempurna. Selain itu, peluang psikoterapi Islam adalah bahwa psikoterapi Islam memandang manusia lebih holistik, sehingga sasaran psikoterapi Islam bukan hanya fisik ataupun psikis, namun juga spiritualitas manusia. Peluang psikoterapi Islam yang lain adalah minat masyarakat yang tinggi untuk menjalankan psikoterapi Islam akibat meningkatnya hasil penelitian yang menyatakan bahwa konsep keagamaan dan spiritualitas berperan penting dalam kesehatan fisik dan psikis.
Terkait tantangan psikoterapi Islam, Saifuddin menyampaikan bahwa pelaku psikoterapi Islam sebaiknya memiliki legalitas yang jelas karena legalitas menjadi bukti konkret dari kualifikasi dan kualitas psikoterapi Islam. Permasalahannya adalah belum ada lembaga sertifikasi atau lembaga yang melegalisasi psikoterapis Islam. Selain itu, belum adanya etika psikoterapi Islam yang terakui menyebabkan praktik psikoterapi Islam rentan penyalahgunaan. Tantangan psikoterapi Islam yang lain adalah rentan penghakiman terhadap klien; potensi perbedaan praktik psikoterapi Islam akibat perbedaan dalil yang digunakan; psikoterapis Islam hendaknya menguasai ilmu ijtihad dan psikoterapi untuk dapat memformulasikan psikoterapi Islam dengan baik; adanya sebagian hal dalam psikoterapi Islam yang kurang dapat dirasionalisasikan dan diempiriskan; tidak semua pelaku psikoterapi Islam mampu menerapkan objektifikasi dan demistifikasi sehingga psikoterapi Islam rentan dilakukan seperti berdakwah; objektifitas penelitian psikoterapi Islam yang terancam karena bersinggungan dengan agama yang normatif; serta rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik-keagamaan. Di akhir sesi, Saifuddin menyampaikan sejumlah rancangan solusi guna menindaklanjuti peluang dan tantangan tersebut. Berdasarkan hal ini, maka Saifuddin mengajak seluruh pihak yang menekuni psikoterapi Islam untuk bersama-sama membangun kualitas diri dalam bidang psikoterapi dan keagamaan.
(Foto dan Red: Ahmad Saifuddin – Sekretaris Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Surakarta)