“Sufi healing hendaknya disusun secara operasional sehingga sufi healing menjadi tahapan psikoterapis yang dapat diberikan kepada semua orang. Selain itu, sufi healing juga hendaknya dapat diteliti secara empiris untuk membuktikan efektivitasnya. Ini tantangan bagi dunia sufi healing, khususnya bagi program studi Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Surakarta”, demikian kata Drs. Asep Haerul Gani, Psikolog selaku praktisi psikoterapi sufi sekaligus Wakil Ketua Kajian Tasawuf ASEAN Pondok Pesantren Suryalaya dalam acara seminar program studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta dengan tema “Sufi Healing Sebagai Upaya Integrasi Keagamaan, Keilmuan, dan Kearifan Lokal untuk Mencapai Kesehatan Mental dan Spiritual” pada Senin, 19 Oktober 2020.
Drs. Asep Haerul Gani, Psikolog, pada awalnya menjelaskan bahwa psikoterapi hendaknya bukan hanya bersifat kuratif, namun juga bersifat preventif, rehabilitatif, edukatif, promotif, konsultatif, dan transformatif. Jika memahami psikoterapi secara luas, maka sufi healing bisa memberikan banyak hal dan melahirkan ragam metode. Bukan hanya menunggu orang sakit baru diterapi, namun juga dapat menghindarkan orang dari sakit. Terkait hal tersebut, dalam konteks dunia pendidikan, tasawuf dan psikoterapi kemudian dapat menyusun kurikulum membangun akhlak yang baik karena akhlak menjadi basis dari tasawuf. Membangun akhlak yang baik sifatnya justru preventif, bukan kuratif. Drs. Asep Haerul Gani, Psikolog mendorong agar pembelajaran tasawuf bukan sekadar mewujudkan pengetahuan tentang tasawuf saja, namun juga pembelajaran melalui pengalaman dan penghayatan. Tasawuf dan psikoterapi juga dapat berperan membuat kurikulum akhlak mulia di berbagai tingkatan pendidikan. Pembuatan kurikulum akhlak mulia tersebut sudah termasuk sufi healing yang sifatnya bukan hanya kuratif namun juga preventif dan promotif.
Drs. Asep Haerul Gani, Psikolog menekankan tantangan dari sufi healing berupa proses-proses yang operasional sehingga bersifat objektif dan universal. Penelitian terkait sufi healing juga penting sebagai upaya empiris untuk meyakinkan masyarakat terkait dampaknya sufi healing terhadap kesehatan mental. Misalkan, sufi healing mengoperasionalkan proses taubat, sehingga tidak perlu menyuruh orang taubat, namun meminta orang melakukan langkah-langkah taubat sehingga orang itu bertaubat dan tersembuhkan dengan taubat. Tantangan lain dalam sufi healing adalah menghidupkan term-term tasawuf dan kemudian membumikan menjadi psikoterapi, serta membuktikan psikoterapi tersebut efektif terhadap pencapaian kesehatan mental dan spiritual. Hal menarik yang disampaikan oleh Drs. Asep Haerul Gani, Psikolog adalah tradisi kearifan lokal banyak yang terpengaruh dari tradisi tasawuf. Selain itu, tradisi keilmuan yang dibuat oleh para ilmuwan Barat sebenarnya sudah pernah dibuat oleh para leluhur Nusantara. Misalkan, seorang raja tidak boleh marah ketika berada di paseban. Namun, jika raja marah, raja dapat masuk ke dalam kamar atau bilik, kemudian menulis nama di kertas dan raja mengekspresikan kemarahannya. Kelak, teknik ini menjadi teknik terapi Gestalt. Tantangan bagi Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Surakarta adalah menguji efektivitas kearifan lokal sebagai psikoterapi yang diintegrasikan dengan nilai tasawuf, contohnya menguji tentang mantra sebagai psikoterapi. Kata-kata dapat berpengaruh pada kondisi kejiwaan dan perilaku manusia. Begitu pula mantra dalam tradisi sufi, pengaruh mantra pada kejiwaan dan perilaku manusia dapat diteliti secara empiris.
(Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog, Sekretaris Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta)